Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memberikan catatan merah pada tahun ke-2 pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) .
Pasalnya, Jokowi membuka daftar negatif investasi (DNI) untuk pusat perbelanjaan (departement store) ritel kepada pihak asing. Sementara, saat ini, pelaku usaha dan pemasok ritel lokal belum bisa bersaing dengan ritel dan produk dari luar negeri.
Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta mengungkapkan, sebelumnya, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, departemen store dengan luas lantai penjualan 2.000 persegi tertutup sepenuhnya bagi asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, setelah Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 44 Tahun 2016, asing bisa memiliki
departement store dengan luas lantai penjualan 400 hingga 2.000 meter persegi maksimal 67 persen. Syaratnya, investor memiliki izin khusus dari Kementerian Perdagangan yang mencakup
departement store yang dimiliki pihak asing itu bertempat di dalam mal dan penambahan outlet penjualan berdasarkan performa ekspor.
Dampaknya,
outlet ritel asing -seperti Uniqlo dan H&M- makin percaya diri melakukan penetrasi ke mal-mal di kota besar. Untungnya, saat ini di tingkat kabupaten dan daerah, masih banyak ritel lokal yang bertahan.
Tutum mengingatkan, kondisi Indonesia berbeda dengan China di mana industri dan ritel lokalnya sudah memiliki kualitas yang baik sehingga mampu bersaing.
"Di China, [ritel asing] masuk tetapi produk dari dia [produk produksi China]. Sementara, di kita, barangnya juga barang asing,sekarang investor asing masuk bawa barangnya sendiri," ujar Tutum di sela acara Rembuk Nasional di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (24/10).
Dengan dibukanya sektor ritel bagi asing, lanjut Tutum, dirinya khawatir banyak ritel lokal yang akan mati. Sebab, menurut perkiraan dia, saat ini konsumsi produk asing di toko ritel di kota besar sudah lebih besar dibanding produk lokal.
"Kontribusi konsumsi ke PDB tahun lalu itu 56,64 persen di mana 35 persen konsumsi rumah tangga di Indonesia itu berbelanja di ritel modern. Dari 35 persen itu sekitar 15 persen (produk) lokal, 20 persen asing," ujarnya.
Ke depan, Tutum berharap Jokowi segera mempertimbangkan kembali kebijakan relaksasi DNI itu. Tak hanya itu, ia juga meminta pihak asosiasi juga dilibatkan dalam proses pembahasan.
"Waktu kebijakan kemarin kami tidak dilibatkan dalam pembahasan formalnya tetapi kami mengikuti perkembangannya dari luar," ujarnya.
(gir/gen)