Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia masih melakukan tagihan bunga Fasilitas Saldo Debet (FSD) eks Bank Take Over (BTO) pada kasus Bantuan Likuiditas BI 1998 lalu dalam skema penyelamatan PT Bank Danamon Indonesia Tbk.
Laporan Tahunan BI 2015 menyebutkan, FSD eks BTO Bank Danamon yang merupakan gabungan dari PT Bank PDFCI Tbk dan PT Bank Tiara Asia Tbk masih menunggak pokok dan bunga sebesar Rp20,12 triliun dan Rp5,32 triliun dari total BLBI yang dialirkan pemerintah, yakni Rp144 triliun.
Dalam rangka penyelesaian tagihan bunga FSD tersebut, BI telah melakukan sejumlah upaya, antara lain menyampaikan surat tagihan kepada eks BTO Bank Danamon pada tanggal 6 Juli 1999, dan melayangkan surat ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada 10 Maret 2004, termasuk Menteri Keuangan terkait penyelesaian tagihan bunga FSD pada 2012 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga kini, bank sentral terus melakukan upaya penagihan, dengan mempertimbangkan bahwa tagihan terkait merupakan aset yang memerlukan tindak lanjut komprehensif.
Sekadar informasi, pada krisis moneter 1998/1999 lalu, BI menggelontorkan BLBI sebesar Rp144 triliun kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Biaya penyelamatan ini tergolong mahal.
Pasalnya, demi menjaga sektor perbankan tak gulung tikar sepenuhnya, pemerintah mengambil langkah, salah satunya meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan bernego dengan lembaga pendanaan internasional itu hingga memutuskan melikuidasi 16 bank sakit.
Penutupan bank-bank ini rupanya menciutkan kepercayaan masyarakat terhadap bank hingga mengakibatkan rush, sebagian dana terbang ke luar negeri, sebagian lain dibelanjakan valuta asing hingga rupiah anjlok ke level Rp16 ribu per dolar AS. Di sisi lain, bank makin menderita karena tingginya kredit macet.
Hingga kini, upaya penyelamatan bank-bank sakit itu berbuntut panjang setelah dicurigai terjadinya penyimpangan.
Surat Utang 2003Sebagai pengingat, menindaklanjuti Keputusan Komisi IX DPR RI pada 3 Juli 2003 mengenai Penyelesaian Politis Aspek Keuangan BLBI, pemerintah dan BI meneken kesepakatan pada 1 Agustus 2003.
Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian BLBI serta Hubungan Keuangan Pemerintah dan BI tersebut ditandatangani oleh Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Menteri Keuangan Boediono, dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.
“Prinsip dasar dari kesepakatan ini antara lain memperhatikan kemampuan anggaran Pemerintah sehingga sedapat mungkin meringankan beban APBN baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, serta memperhatikan kondisi keuangan BI yang memadai dalam jangka panjang,” jelas BI pada 4 Agustus 2003.
BI menjelaskan, jumlah BLBI yang disetujui untuk diselesaikan adalah sebesar Rp144,5 triliun, sedangkan untuk jumlah sebesar Rp14,5 triliun akan diselesaikan kemudian.
Untuk penyelesaian BLBI sebesar Rp144,5 triliun, Pemerintah menerbitkan surat utang baru sebagai pengganti surat utang Nomor SU-001/MK/1998 dan SU-003/MK/1999.
Nama surat utang baru tersebut adalah Obligasi Negara Nomor Seri SRBI- 01/MK/2003 yang mulai berlaku tanggal 1 Agustus 2003, tanpa indeksasi, berjangka waktu 30 tahun. Obligasi ini dikenakan bunga tahunan sebesar 0,1 persen per tahun dari sisa pokok Obligasi Negara, dan tidak dapat diperdagangkan serta dimiliki oleh BI sampai dengan jatuh tempo.
“Pelunasan Obligasi Negara dalam rangka penyelesaian BLBI ini menggunakan ukuran rasio modal BI terhadap kewajiban moneter sebesar 3 persen-10 persen,” jelas BI.