Pemerintah Didesak Audit Isu Perburuhan Sektor Kelapa Sawit

CNN Indonesia
Jumat, 12 Mei 2017 13:08 WIB
Sawit Watch mensinyalir, tidak kurang dari 70 persen dari total buruh kelapa sawit tak memiliki kejelasan status dalam perusahaan.
Sawit Watch mensinyalir, tidak kurang dari 70 persen dari total buruh kelapa sawit tak memiliki kejelasan status dalam perusahaan. (REUTERS/Y.T Haryono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Sawit Watch, organisasi nirlaba sektor kelapa sawit, mendesak pemerintah mengaudit hubungan kerja antara perusahaan dengan buruh kelapa sawit. Pasalnya, penelusuran Sawit Watch menyebut, pelaksanaan perburuhan kelapa sawit semakin meresahkan.

Peneliti Sawit Watch Zidane mencatat, tiga permasalahan utama antara perusahaan dan buruh perkebunan kelapa sawit yang melibatkan 10,4 juta buruh yang menggarap lahan kelapa sawit seluas 14,3 juta hektare (ha).

Pertama, masalah status buruh kelapa sawit. Zidane mensinyalir, sebagian perkebunan di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara tidak memberikan status buruh permanen, meski masa kerja buruh tersebut sudah mencapai dua tahun. Bahkan, tak kurang dari 70 persen dari total buruh belum memiliki kepastian status dalam perusahaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, hal ini melanggar pasal 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini mengindikasikan seolah-olah perusahaan emoh bertanggungjawab terhadap para pekerjanya.

"Dokumentasi keterikatan kerja antara buruh dengan perusahaan sangat penting, karena kalau buruh bermasalah, mereka akan semakin sulit mencari pertanggungjawabannya. Makanya, dengan momentum Presiden Joko Widodo yang ingin melakukan moratorium atas pembukaan lahan sawit, kami harap, pemerintah juga mengaudit permasalahan ini," ujarnya, Jumat (12/5).

Tak cuma itu, ia bahkan mengusulkan, pelaksanaan perburuhan di sektor perkebunan kelapa sawit disertakan dalam rencana Instruksi Presiden (Inpres) terkait moratorium lahan kelapa sawit.

Permasalahan kedua, yaitu terkait akses kesehatan buruh. Dari temuan Sawit Watch, banyak buruh yang tak bisa mengakses fasilitas kesehatan, termasuk Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K).

Ia mencontohkan, sebanyak 22 buruh wanita di Kalimantan Tengah terpapar pestisida dan berpotensi mengalami kebutaan permanen karena P3K jauh untuk dijangkau.

Tak sampai di situ, Zidane juga menuturkan bahwa banyak buruh yang kesulitan dalam mendapatkan cuti kesehatan akibat panjangnya birokrasi pengajuan cuti. "Akibatnya, buruh yang sakit terpaksa melanjutkan kerja. Padahal, pekerja sakit berhak untuk mendapatkan pengobatan," terang Zidane.

Ketiga, ia melanjutkan, pemerintah juga perlu mengaudit implementasi perburuhan anak mengacu pada UU Ketengakerjaan yang mematok batas minimal bagi tenaga kerja adalah 15 tahun.

Selama ini, sambung dia, ada beberapa korporasi yang beralasan bahwa perburuhan anak terjadi karena anak tersebut benar-benar ingin bekerja.

"Perburuhan anak biasanya terjadi pada proses panen. Memang, anak itu bekerja secara sukarela, namun itu pun karena kasihan melihat orangtuanya bekerja dengan target yang terlampau tinggi yang diberikan perusahaan. Kalau tidak mencapai target, upah orangtua dipangkas," paparnya.

Zidane berharap, pemerintah segera mengeluarkan kebijakan terkait perlindungan buruh kelapa sawit agar nasibnya tak semakin naas. Pemerintah juga diminta untuk membeberkan nama-nama perusahaan kelapa sawit yang kedapatan tidak memperlakukan buruh sesuai prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

"Kami tidak minta muluk-muluk, kami hanya ingin ini dimasukkan ke dalam rencana pemerintah di tengah pelaksanaan moratorium izin lahan kelapa sawit," pungkasnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER