Data Nasabah Dibuka, Pengalihan Saldo Bakal Marak

CNN Indonesia
Senin, 22 Mei 2017 06:33 WIB
Potensi tindakan pengalihan rekening tersebut sangat besar terjadi lantaran nasabah dengan nilai rekening Rp500 juta tak ingin diintip data keuangannya.
Potensi tindakan pengalihan rekening tersebut sangat besar terjadi lantaran nasabah dengan nilai rekening Rp500 juta tak ingin diintip data keuangannya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah akan melaksanakan sistem keterbukaan dan akses pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI) terhadap data keuangan nasabah perbankan, baik dalam maupun luar negeri untuk kepentingan pemeriksaan perpajakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu).

Dengan pelaksanaan sistem AEoI tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa DJP akan memiliki wewenang untuk membuka data keuangan nasabah dengan batas saldo atau nilai rekening sebesar US$250 ribu atau setara Rp3,32 miliar.

"Dari sisi peraturan internasional, batas saldo yang wajib dilaporkan adalah US$250 ribu. Maka, kami gunakan konteks batas saldo itu harus dilaporkan, harus sesuai dengan aturan internasional," kata Sri Mulyani, kemarin (19/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, batas saldo tersebut merupakan batasan nilai rekening yang disepakati dalam perjanjian internasional bila antar negara yang menganut sistem AEoI ingin saling bertukar data keuangan nasabah perbankan.

Sedangkan, untuk batas saldo bagi nasabah perbankan dalam negeri, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, ada batasan saldonya tersendiri. Sayangnya, Darmin belum ingin membagi informasi terkait batas saldo untuk nasabah perbankan domestik tersebut.

"Nanti dikeluarkan lebih dulu aturan pelaksanaannya. Pasti ada batasannya tapi nanti saja kalau aturan pelaksanaannya dibuat," kata Darmin, Jumat (19/5).

Sementara, berdasarkan informasi yang didapat CNNIndonesia.com, disebutkan bahwa data batasan saldo nasabah perbankan domestik yang wajib dilaporkan secara otomatis oleh lembaga jasa keuangan, baik perbankan maupun perasuransian sebesar Rp500 juta.

Terkait hal ini, pengamat perbankan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, batasan saldo bagi nasabah perbankan tersebut berpotensi menimbulkan tindakan pengalihan rekening oleh nasabah perbankan.

Menurut Bhima, potensi tindakan pengalihan rekening tersebut sangat besar terjadi lantaran nasabah dengan nilai rekening Rp500 juta tak ingin diintip data keuangannya oleh DJP.

Sehingga agar rekening tak diusik oleh otoritas pajak, nasabah bisa saja membuat rekening baru dengan saldo di bawah Rp500 juta atau mengalihkan saldo tabungannya ke rekening-rekening lain, misalnya rekening dengan nama baru atau rekening keluarga dan koleganya.

"Nanti ada pergeseran, yang saldo di atas Rp500 juta itu bisa jadi dipecah ke Rp500 ribu ke bawah. Jadi, dipecah saja biar lolos dari batas saldo pemeriksaan," ujar Bhima saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/5).

Bila hal ini terjadi, sambung Bhima, tentu akan mempengaruhi kesehatan industri perbankan. Pasalnya, ada arus penarikan tabungan yang dilakukan nasabah dalam kurun waktu yang bersamaan.

Apalagi bila penarikan tabungan nasabah dari perbankan dialihkan kepada penyimpanan uang di non-bank. Ini berpotensi memberikan guncangan dalam jangka panjang terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) dan likuiditas perbankan.

"Pengaruhnya ke DPK dan likuiditas perbankan menjadi cukup ketat dengan LDR yang tinggi. Otomatis likuiditas terkena dampak DPK yang turun dan terkontraksi," jelas Bhima.

Adapun bila hal ini terjadi, efeknya cukup besar menurut Bhima. Pasalnya, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sampai Februari 2017, jumlah nasabah dengan nilai rekening sebesar Rp500 juta sampai Rp1 miliar cukup besar, yakni mencapai 519.291 rekening dengan jumlah saldo mencapai Rp381,95 triliun.

Sementara, jumlah nasabah dengan nilai rekening sebesar Rp1 miliar sampai Rp2 miliar sebanyak 257.549 rekening dengan jumlah saldo Rp366,424 triliun, nilai rekening Rp2 miliar sampai Rp5 miliar sebanyak 154.804 rekening dengan saldo Rp481,852 triliun, dan nilai rekening di atas Rp5 miliar sebanyak 84.514 rekening dengan saldo Rp2.313 triliun.

Artinya, jumlah rekening yang berpotensi diintip oleh DJP untuk kepentingan pemeriksaan pajak mencapai 1,016 juta rekening.

Dengan begitu, efek guncangan yang diberikan kepada industri perbankan, baik dari segi DPK dan likuiditas perbankan, dinilai Bhima tentu tak kecil. Kendati demikian, Bhima memprediksi risiko tersebut baru akan terasa setidaknya pada semester II 2017 atau saat sistem AEoI benar-benar resmi dijalankan oleh DJP yang masih menunggu sejumlah aturan pelaksanaan turunan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER