Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak melemah satu persen pada hari Selasa waktu Amerika Serikat (AS) setelah terjadi kenaikan produksi minyak di Libya dan meningkatnya kekhawatiran bahwa perpanjangan pembatasan produksi akan membuat negara-negara pengekspor minyak tidak kuat menghadapi kelebihan suplai yang menekan harga minyak selama tiga tahun terakhir.
Dikutip dari Reuters, Rabu (31/5), produksi minyak Libya sempat menyentuh angka 784 ribu barel per hari lantaran gangguan teknis di lapangan Sharara. Namun, National Oil Corporation Libya tetap berharap produksinya mampu mencapai 800 ribu barel per hari.
Akibatnya, harga Brent LCOc1 melemah US$0,45 per barel ke angka US$51,84 per barel. Sementara, harga West Texas Intermediate (WTI) CLc1 juga ikut melemah US$0,14 per barel ke angka US$49,66 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penambahan produksi menjadi momok bagi organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) yang getol memangkas produksi demi mendongkrak harga minyak.
Sebagai informasi OPEC, termasuk Rusia, sepakat untuk memangkas produksi 1,8 juta barel per hari selama sembilan bulan yang dimulai Juli mendatang. Namun, harga minyak seketika turun setelah kesepakatan tersebut diumumkan, karena jumlah pemangkasan produksi tidak mampu menurunkan kelebihan persediaan minyak.
Selain itu, sumber masalah OPEC lainnya muncul dari penambahan produksi minyak non-konvensional dari AS. Hingga pekan lalu, jumlah aktivitas pengeboran minyak AS mencapai 722 aktivitas atau tercatat tertinggi sejak April 2015 lalu.
Menurut laporan Goldman Sachs, persediaan minyak bisa terus bertambah jika ongkos produksinya turun. "Kami optimistis, harga membaik dalam jangka pendek. Namun, harga minyak pada 2018 hingga 2019 mendatang berada di angka US$45 per barel hingga US$50 per barel," tulis laporan tersebut.
Di sisi lain, Standard Chartered mengatakan bahwa persediaan minyak global akan kembali ke angka rerata lima tahun terakhir setelah OPEC menyelesaikan kebijakan pemotongan produksinya.
"Kami berharap, harga bisa meningkat karena kenaikan permintaan, namun pasar menunjukkan sentimen bearish dalam jangka pendek," terang laporan Standard Chartered.