Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mencatat, total asetnya hingga hingga akhir April 2017 mencapai Rp79,3 triliun atau naik 8,68 persen dibanding tahun sebelumnya, Rp73 triliun. Namun, jumlah itu hanya mencapai sekitar satu persen dari total aset seluruh bank di Indonesia yang hampir mencapai Rp6.571 triliun pada kuartal pertama tahun ini.
"Saya rasa Rp79 triliun sangat kecil sekali," tutur Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah di Hotel Mulia Jakarta, Kamis malam (8/6).
Dana tersebut pun dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan restrukturisasi perbankan jika terjadi krisis keuangan yang tidak diharapkan. Untuk itu, menurut Halim, Undang-undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) telah mengamanatkan untuk membentuk dana Program Restrukturisasi Perbankan (PRP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PRP digunakan jika kondisi sistem keuangan Indonesia sudah masih dalam kategori krisis. Ketika itu, LPS dapat mencairkan dana tersebut guna melakukan resolusi bank jika dibutuhkan. Adapun sumber dana PRP akan berasal dari kontribusi industri perbankan melaui pembayaran premi, pemilik bank, utang LPS kepada pihak lain, dan penanganan aset dari bank yang ditangani.
Selain berasal dari dana PRP dan aset LPS, Direktur Eksekutif Keuangan LPS R. Budi Santoso menjelaskan, LPS dapat menerbitkan obligasi guna mendanai penanganan krisis. "Pada April 2017 lalu, Fitch Rating telah merilis
rating LPS untuk pertama kalinya dan mendapat rating tertinggi, yaitu id AAA, stable outlook," ujar Budi.
Adapun Budi merinci, dari total asel LPS sebesar Rp79 triliun, 96,2 persen atau Rp76,3 triliun ditempatkan dalam investasi. Adapun sisanya, ditempatkan dalam bentuk kas dan piutang sebesar Rp2,7 triliun atau sekitar 3,5 persen, aset tetap Rp111,7 miliar, dan aset lainnya sebesar Rp183,5 miliar.
Selama Januari-April 2017, LPS juga membukukan pendapatan sebesar Rp6,9 triliun atau naik 9,5 persen (yoy). Sebagian besar pendapatan bersumber dari pendapatan premi Rp5,02 triliun, hasil investasi Rp1,83 triliun, claim recovery Rp1,5 miliar, dan pendapatan lainnya Rp27,3 miliar.
Sementara itu, beban sepanjang Januari-April 2017 Rp0,5 triliun, surplus LPS pada periode yang sama mencapai Rp6,4 triliun atau tumbuh sekitar 8,5 persen (yoy).
Bayar Klaim Rp1,2 Triliun
Sementara, Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS Ferdinan D Purba menyampaikan, LPS telah melakukan penanganan tiga bank sepanjang 2017. Adapun seluruhnya merupakan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang dicabut izin usahanya. Ketiga BPR tersebut berada di Deli Serdang, Jakarta dan Sidoarjo, dengan total simpanan Rp 24 miliar.
Dengan demikian, sejak beroperasi 2005 hingga akhir Mei 2017, LPS telah menanganani klaim terhadap 79 bank yang dicabut izin usahanya dengan jumlah klaim layak banyar mencapai Rp1,2 triliun. Sebanyak 76 bank di antaranya telah selesai proses rekonsiliasi dan verifikasi (rekonver).
Untuk simpanan yang tidak layak bayar per Mei 2017 mencapai Rp314 miliar yang sebagian disebabkan oleh bunga simpanannya di atas LPS Rate atau sebanyak 74 persen. Lainnya, disebabkan karena tidak ada aliran dana masuk sebesar 14 persen dan menjadi penyebab bank tidak sehat sebesar 12 persen.
Sebagai tindak lanjut berlakunya UU PPKSK, tahun ini LPS juga telah menerbitkan Peraturan LPS (PLPS) sebagai turunannya antara lain PLPS Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penanganan Bank Sistemik yang Mengalami Permasalahan Solvabilitas, PLPS Nomor 2 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik yang Mengalami Permasalahan Solvabilitas, PLPS Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pengelolaan, Penatausahaan, Pencatatan Aset, dan Kewajiban dari Penyelenggaraan PRP.