Jakarta, CNN Indonesia -- Geliat positif perekonomian membuat bank-bank pelat merah percaya diri untuk menapaki paruh kedua tahun ini. Optimisme perbankan tersebut bakal tercermin dalam revisi Rencana Bisnis Bank (RBB) yang akan diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhir Juni mendatang.
Kondisi ini berbeda dengan kondisi di tahun lalu, dimana sebagian bank besar memilih untuk memangkas target lantaran ekonomi yang ternyata tumbuh tak sesuai harapan. Pada tahun ini, keempat bank BUMN mengaku tak akan merevisi ke bawah target kreditnya pada tahun ini kendati mematok kredit tumbuh dua digit. Satu diantaranya, yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) bahkan berencana merevisi naik target pertumbuhan kreditnya.
Tak banyak bergesernya target pertumbuhan kredit bank-bank BUMN lantaran ketika menyusun RBB 2017 pada tahun lalu, bank-bank tersebut memilih tidak terlalu ekspansif guna mengantisipasi kemungkinan masih lemahnya permintaan kredit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, berdasarkan data terakhir Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga kuartal pertama tahun ini, penyaluran kredit kelompok bank BUMN tercatat tumbuh 16,89 persen
(year on year/yoy) menjadi Rp1.778,46 triliun. Pertumbuhan tersebut jauh diatas pertumbuhan industri perbankan secara keseluruhan yang tercatat sebesar 9,2 persen (yoy)
Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo menyatakan, perseroan akan merevisi ke atas target penyaluran kreditnya tahun ini dari sebelumnya sebesar 12 persen menjadi 12,6 persen secara tahunan (yoy).
Pada akhir kuartal I 2017 lalu, bank yang banyak bermain di sektor mikro ini telah menyalurkan kredit sebesar Rp653,1 triliun atau tumbuh 16,4 persen (yoy). Pertumbuhan kredit yang membaik ini juga diperkirakan berlanjut pada kuartal II 2017.
"Rencana kemarin (RBB 2017) dibuat waktu masih September 2016. Nah, kami melihat progress positif dari pertumbuhan ekonomi, jadi target pertumbuhan kredit kami naikkan," tutur Haru kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/6).
Perbaikan pertumbuhan ekonomi terlihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I yang mencapai 5,01 persen, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,92 persen. Tahun ini pemerintah juga memperkirakan ekonomi bakal tumbuh mencapai 5,1 persen atau lebih tinggi dari tahun lalu sebesar 5,02 persen.
Selain itu, optimisme BRI juga didukung oleh membaiknya indikator eksternal seperti prospek pertumbuhan ekonomi global dan membaiknya peringkat layak investasi dari lembaga pemeringkat Standard and Poor's.
Haru mengaku, kapasitas perseroan dalam menyalurkan kredit pada tahun ini sebenarnya dapat didongkrak hingga tumbuh dikisaran 14 persen. Namun, pihaknya menurut Haru tak ingin target kredit terlalu tinggi lantaran ingin menjaga kualitas kredit dengan rasio kredit bermasalah kotor (NPL gross) di level 2,4 . Selain itu, pihaknya menurut dia, juga akan menjaga pinjaman terhadap simpanan
(Loan to Deposit Ratio/LDR) di kisaran 92 persen.
"Saat ini, rasio LDR BRI masih 94 persen," ujarnya.
Saat ini, penyaluran kredit BRI masih didominasi pada segmen kredit mikro yang mencapai sekitar 33 persen dari total kredit. Kemudian disusul oleh segmen korporasi dengan porsi sebesar 27 persen, segmen konsumsi sebesar 20 persen, dan segmen ritel sebesar 20 persen.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan, target pertumbuhan kredit perseroan pada tahun ini tetap berada di kisaran 11 hingga 13 persen.
"Tidak ada perubahan material (dalam revisi RBB). Pertumbuhan sama. Dari sisi kredit, kami optimistis bisa tumbuh 11 persen hingga 13 persen," ujar pria yang akrab disapa Tiko ini, akhir pekan lalu.
Hanya saja, dari sisi segmen kredit, perseroan akan lebih mendorong kredit korporasi dan ritel. Selain karena peluangnya yang besar, kedua segmen kredit tesebut diyakini mampu menjadi lokomotif pertumbuhan.
Adapun perseroan mengincar portofolio kredit korporasi sebanyak 40 persen atau dominan dibandingkan segmen kredit lainnya, yaitu ritel 35 persen, dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) 25 persen.
Senada dengan Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga memilih untuk tetap menargetkan penyaluran kredit tumbuh di kisaran 14-16 persen. Padahal, pada kuartal I 2017 lalu, penyaluran kredit perseroan mampu tumbuh sebesar 21,4 persen menjadi Rp396,52 triliun.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2017 lalu kan 5,01 persen. Ya kami masih optimistis," tutur Direktur Keuangan BNI Rico Rizal Budidarmo.
Adapun perubahan pada revisi RBB yang dilakukan pihaknya nanti, menurut dia, hanya bersifat minor untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah. "Kami akan meningkatkan pelayanan kita, baik itu lokasi dan maupun penambahan lokasi dengan lebih efisien. Kami juga akan terus meningkatkan layanan digital dan layanan branchless bankng," kata Rico.
Perubahan target kredit dalam revisi RBB juga tak akan dilakukan oleh PT Bank Tabungan Negara Tbk. Bank yang fokus dalam meyalurkan kredit di sektor perumahan ini memilih untuk mempertahankan target kreditnya dikisaran 21 persen hingga 23 persen. Adapun pada tahun lalu, penyaluran kredit BTN mencapai Rp 164,44 triliun atau tumbuh 18,34 persen (yoy).
Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko mengungkapkan, penyaluran kredit perseroan tetap akan didominasi oleh pembiayaan perumahan dengan porsi mencapai lebih dari 90 persen dari total kredit.
Kendati tak merubah target kredit, pihaknya menurut Iman, akan merevisi target pertumbuhan laba perseroan dalam revisi RBB tahun ini dari 20 persen menjadi 15 persen. Hal itu disebabkan oleh realisasi laba tahun lalu yang mencapai Rp2,61 triliun dan melampaui perkiraan. Kendati demikian, secara nominal target laba BTN naik dari Rp2,8 triliun menjadi Rp3 triliun.
"Realisasi laba tahun 2017 lebih besar dari prognosa laba dalam RBB awal," ujar Iman.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad mengaku masih menanti dokumen revisi RBB dari perbankan. Namun, melihat perkembangan penyaluran kredit hingga Mei yang tercatat tumbuh 10,39 persen, Muliaman melhat proyeksi pertumbuhan kredit tahun ini tidak akan berubah.
"Saya kira pertumbuhan kredit masih akan di kisaran 9 persen hingga 12 persen," ujar Muliaman.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memahami tendensi bank untuk tetap mempertahankan target kredit dalam RBB. Pasalnya, perbankan mengantisipasi risiko perekonomian global, salah satunya kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (The Fed) yang diperkirakan masih akan terjadi hingga tahun depan.
"Kenaikan suku bunga The Fed pasti akan menekan sekali dari sisi likuiditas, sehingga ada kekhawatiran bunga kredit naik," ujar Bhima.
Selain itu, tingkat inflasi tahun ini diperkirakan bakal melampaui 4,5 persen atau melonjak dari realisasi tahun lalu sebesar 3,02 persen. Hal ini, menurut dia, berisiko memberikan tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuannya hingga 5 persen pada akhir tahun. Jika suku bunga acuan bank sentral naik, maka akan memberikan tekanan pada biaya dana perbankan.
Adapun dari sisi permintaan, pertumbuhan kredit juga diperkirakan masih terbatas. Pasalnya, sektor retail meskipun sudah membaik, belum tumbuh sesuai ekspektasi. Hal ini seiring dengan pertumbuhan konsumsi masyarakat yang diperkirakan masih akan stagnan di kisaran 5 persen.
Sedangkan dari sisi investasi, pemulihan yang terjadi juga belum terlalu signifikan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan industri pengolahan pada kuartal pertama tahun ini yang tumbuh dikisaran 4,21 persen. Pertumbuhan industri penopang ekonomi Indonesia itu memang meningkat dibandingkan kuartal keempat tahun lalu sebesar 3,36 persen. Namun, masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Jadi sudah mulai ada pemulihan diindustri pengolahan, namun masih belum signifikan," jelas Bhima.
Sementara itu, Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody Arifianto dalam laporan indikator likuiditas Juni 2017 melihat, pertumbuhan kredit perbankan masih belum melaju kencang lantaran masih adanya kekhawatiran mengenai potensi risiko kredit. Adapun LPS memproyeksi pertumbuhan kredit perbankan pada tahun ini akan berada dikisaran 9,2 persen.
Kendati demikian, menurut dia, aliran dana asing yang masuk Indonesia (capital inflow) dan pertumbuhan ekonomi bisa mendorong pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan pada 2017. Kendati demikian, LPS memperkirakan pertumbuhan DPK perbankan akan berada dikisaran 7,2 persen pada tahun ini.