Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap impor bahan baku dari China. Saat ini, impor dari negeri tirai bambu tersebut mencapai lebih dari seperempat total impor Indonesia. Hal ini dinilai berbahaya bagi perekonomian Indonesia.
Berdasarkan data neraca perdagangan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis hari ini (15/6), defisit perdagangan antara Indonesia dan China per Mei 2017 mencapai US$5,89 miliar. Defisit tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan defisit Indonesia dengan negara lainnya seperti dengan Thailand yang mencapai US$1,57 miliar dan defisit dengan Australia yang mencapai US$1,34 miliar.
Neraca perdagangan sendiri merupakan selisih antara ekspor dan impor yang dilakukan suatu negara. Defisit neraca perdagangan terbentuk jika suatu negara lebih banyak melakukan impor dibandingkan ekspor. Sebaliknya, surplus neraca perdagangan terbentuk jika suatu negara lebih banyak melakukan ekspor dibanding impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS M. Sairi Hasbullah mengatakan, impor barang konsumsi, bahan baku serta barang modal Indonesia per Mei 2017 meningkat jika dibandingkan dengan Mei tahun lalu. Impor bahan baku tercatat mengalami kenaikan tertinggi yakni 17,63 persen dari US$40,16 miliar menjadi US$47,24 miliar.
Hasbullah mengatakan, peningkatan impor bahan baku tersebut didominasi oleh barang-barang yang berasal dari China, mencapai US$13,67 miliar atau meningkat 26,12 persen. Impor dari China, menguasai lebih dari 25 persen dari total barang impor yang masuk ke Indonesia.
Data BPS menyebut, impor terbesar dari China berupa mesin-mesin/pesawat mekanik senilai US$2,33 miliar. Disusul impor mesin/peralatan listrik yang mencapai US$1,92 miliar, besi dan baja US$645 juta, dan bahan kimia organik sebesar US$368 juta.
"Pasokan bahan baku untuk industri kita cukup tinggi, namun di lain pihak kita perlu cermati angka-angka ini karena negara yang menjadi sumber impor kita terbatas dan 25 persen impor dari China," ujarnya, Kamis (15/6).
Menurut Hasbullah, ketergantungan impor dari China yang terlalu besar berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, jika suplai dari China tiba-tiba berkurang signifikan, akan ada kelangkaan barang di pasar domestik.
Untuk itu, ia mengusulkan kepada pemerintah untuk mendiversifikasi negara asal impor meskipun hal tersebut sulit dilakukan di tengah kondisi perlambatan perekonomian global.
"Satu-satunya cara adalah kita harus mencari pasar atau sumber perdagangan baru dari negara lain, harus ada upaya besar ke sana, sekarang 25 persen impor kita dari China. Supaya kalau ada masalah kita ada skenario lain ada negara lain yang bisa mensuplai menggantikan China," pungkasnya.