ANALISIS

Berharap 'Fulus' THR Memuluskan Daya Beli Masyarakat

CNN Indonesia
Kamis, 15 Jun 2017 18:10 WIB
Ketua Gapmmi Adhi Lukman mengatakan, penetrasi penjualan makanan dan minuman (mamin) nyaris mandek dibandingkan tahun lalu.
Ketua Gapmmi Adhi Lukman mengatakan, penetrasi penjualan makanan dan minuman (mamin) nyaris mandek dibandingkan tahun lalu. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi).
Jakarta, CNN Indonesia -- Dunia usaha menilai ada yang berbeda dengan ramadan tahun ini. Tidak sedikit dari mereka menyebut konsumsi masyarakat di ramadan ini tak terasa jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Biang keladinya, daya beli masyarakat yang lemah.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan, penetrasi penjualan makanan dan minuman (mamin) nyaris mandek kalau mengacu pada pencapaian ramadan tahun lalu.

"Kalau dirata-rata mungkin dibandingkan bulan biasa hanya meningkat 30 persen. Tidak begitu berbeda dengan ramadan tahun lalu. Tetapi, memang, kelihatannya industri ritel secara keseluruhan turun," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asal tahu saja, industri mamin merupakan bagian dari sektor ritel secara menyeluruh. Kendati industri mamin tumbuh, secara keseluruhan, industri induknya malah melorot. Industri ritel dinilai kehilangan gairah sejak awal tahun ini.

Berharap 'Fulus' THR Memuluskan Daya Beli MasyarakatIlustrasi penjualan ritel. (ANTARA FOTO/R. Rekotomo).


Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membenarkan hal tersebut. Menurut data Aprindo, penjualan ritel tergerus sekitar 10 persen - 20 persen pada kuartal I 2017. Hanya, industri mamin yang mencatatkan pertumbuhan.

Sementara, Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta mengatakan, produk lain di luar mamin masih harus menunggu momentum puncak perayaan lebaran yang jatuh pada 25-26 Juni 2017 mendatang.

Itu pun, ia melanjutkan, pertumbuhan penjualan produk mamin ritel tak bisa dibilang sebagai cerminan peningkatan konsumsi masyarakat saat ramadan. Karena, faktanya, dalam catatan Aprindo, pertumbuhan penjualan mamin tak cukup kentara.

Malah, peningkatan konsumsi produk mamin seharusnya sudah terjadi sejak jelang ramadan dan terus meningkat mencapai puncaknya pada lebaran. "Mungkin, (sudah tumbuh) 10 persen - 20 persen sejak awal ramadan karena pembelian tumbuh untuk stok, mereka kan harus penuhi kebutuhan untuk berbuka puasa," kata Tutum.

Tutum menuding, daya beli masyarakat lemah, meskipun tingkat konsumsi rumah tangga pada pertumbuhan ekonomi tetap ciamik pada kuartal I lalu. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal I, performa konsumsi rumah tangga mencapai 4,93 persen.

Okupansi Hotel Tiarap

Selain industri mamin dan penjualan ritel, penjualan hunian hotel juga tiarap. Menurut Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), okupansi hotel cenderung turun, yakni hanya berkisar 50 persen - 55 persen. Imbasnya, banyak kamar hotel yang menganggur dan menekan pendapatan pengelola hotel.

"Itu kurang bagus. Yang bagus itu di atas 60 persen. Ini karena suplainya bertambah, kamarnya bertambah, tapi pasarnya berkurang. Daya beli masyarakat juga berkurang," ungkap Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani.

Salah satu bukti rendahnya okupansi hotel, ia bilang, pemesanan kamar hotel seharusnya meningkat jelang puncak perayaan lebaran. Namun, sampai saat ini, tidak juga terjadi peningkatan permintaan.

Sebetulnya, sambung Hariyadi, bahkan kondisi ini diklaim sudah terjadi sejak tahun lalu, bersamaan dengan mulai melemahnya daya beli masyarakat.

Ekonom Institute of Development on Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, daya beli masyarakat memang cenderung lemah di sejak awal tahun ini, khususnya untuk pembelanjaan sekunder, seperti pakaian atau produk fesyen.

"Untuk pembelian ritel yang sifatnya sekunder menjadi tidak prioritas, masyarakat jadi mengerem konsumsi karena ada sejumlah pengeluaran primer yang lebih mendesak dan harganya mengalami inflasi," imbuh Eko.

Pemenuhan pengeluaran primer itu, lanjut Eko, cukup membuat masyarakat menahan konsumsinya untuk pengeluaran lain. Pasalnya, sejak awal tahun diketahui bahwa harga sejumlah kebutuhan mengalami peningkatan, baik dari sisi konsumsi dan lainnya, seperti tarif dasar listrik (TDL) untuk pengguna berkapasitas 900 voltampere (VA).

Inilah yang kemudian memperparah laju roda perekonomian. Belum lagi, di sisi lain, ritel juga mendapat tekanan dari tingginya impor barang konsumsi dari negara lain, sehingga persaingan menjadi lebih ketat.

Imbas lebih luasnya merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan tidak meningkat signifikan sekalipun ada penopang dari indikator pertumbuhan lainnya, misalnya ekspor. Pasalnya, di satu sisi, stimulus dari belanja pemerintah juga tak melonjak tajam untuk menutup pertumbuhan ekonomi yang masih didonimasi oleh konsumsi rumah tangga.

Nah, guna memberi stimulus terhadap daya beli masyarakat, Eko menjelaskan, peran belanja pemerintah sangat dibutuhkan. Salahsatunya, Tunjangan Hari Raya (THR) PNS. Dengan THR, diharapkan ada tambahan pendapatan bagi masyarakat yang selanjutnya bisa digunakan untuk konsumsi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan konsumsi masyarakat diyakini akan turut menggerakkan kembali roda pertumbuhan penjualan industri ritel. Bila terjadi, pertumbuhan industri tentu juga akan meningkat.

Berharap 'Fulus' THR Memuluskan Daya Beli MasyarakatIlustrasi belanja ritel. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).


"THR ini bisa jadi stimulus yang cukup kuat untuk meningkatkan permintaan industri ritel dan penjualan lainnya. Karena, setelah THR cair, masyarakat bisa mengeluarkan belanja," jelasnya.

Dari sisi industri ritel, Tutum kembali menaruh harap, pencairan THR dapat mengangkat pertumbuhan ritel yang ditargetkan mencapai 10 persen sepanjang tahun ini. Setidaknya, efek jangka pendeknya dapat meningkatkan penjualan ritel menjadi dua sampai tiga kali lipat dibandingkan bulan biasa atau awal tahun ini.

"Seharusnya, ini momen yang tepat untuk meningkatkan penjualan. Biasanya setelah dapat THR, masyarakat mulai percaya diri untuk berbelanja," terang Tutum.

Sementara itu, Gapmmi berharap, THR tidak hanya mendongkrak konsumsi masyarakat dalam jangka pendek pada ramadan dan lebaran ini, tetapi juga membuat masyarakat lihai mengelola pendanaan untuk menutup konsumsi. Gapmmi mematok pertumbuhan sepanjang tahun ini bisa mencapai 8,0 persen. Saat ini, Gapmmi mencatat kenaikan baru di kisaran 7,0 persen.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER