ANALISIS

Meramal Nasib Program Satu Juta Rumah Jokowi

CNN Indonesia
Selasa, 20 Jun 2017 17:15 WIB
Animo masyarakat yang tinggi terhadap program KPR subsidi membuat anggaran FLPP membengkak pada 2015 dan 2016 sebesar Rp900 miliar.
Pemerintah menargetkan angka backlog rumah dapat berkurang dari 11,4 juta pada 2015 menjadi 6,8 juta unit pada tahun 2019. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki ambisi besar untuk memangkas kekurangan pasokan (backlog) perumahan Dallas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Ambisi tersebut coba diwujudkan dengan mencanangkan program satu juta rumah sejak awal pemerintahannya. 

Targetnya, angka backlog rumah dapat berkurang dari 11,4 juta pada 2015 menjadi 6,8 juta unit pada tahun 2019. Namun, belum setengah jalan, program ambisius Jokowi ini harus menghadapi sejumlah tantangan, diantaranya membengkaknya anggaran subsidi. 

Subsidi yang diberikan pemerintah untuk mewujudkan program satu juta rumah sendiri berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Fasilitas tersebut diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). MBR pun dapat memperoleh fasilitas Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dengan suku bunga 5 persen yang bersifat tetap sepanjang jangka waktu kredit, uang muka mulai dari 1 persen, dan jangka waktu pinjaman (tenor) maksimal 20 tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Animo masyarakat yang cukup tinggi terhadap program tersebut pun membuat kebutuhan anggaran FLPP membengkak pada 2015 dan 2016. Akibatnya bank penyalur FLPP, yakni PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk pun menalangi kekurangan dana tersebut sebesar Rp900 miliar.

Realisasi FLPPFoto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia
Realisasi FLPP

Untuk itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono pun harus mengajukan lagi anggaran tambahan tahun ini untuk menjaga keberlanjutan program KPR subsidi yang selama ini menggunakan skema FLPP.

Tak ingin menemui jalan buntu, pemerintah pun kemudian memilih untuk menalangi kekurangan anggaran FLPP menggunakan alokasi anggaran Subsidi Selisih Bunga (SSB). Pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran SSB sebesar Rp3,2 trilliun. SSB miming sengaja dianggarkan pemerintah, sebagai cadangan ketika program FLPP habis terserap. 

Program FLPP sendiri sebenarnya berbeda dengan SSB. Dalam program FLPP,  pemerintah menanggung dana kredit kepemilikan rumah hingga 90 persen, dimana sisanya dialokasikan oleh perbankan. Adapun dalam program SSB, pemerintah hanya membayarkan selisih antara bunga yang diberikan kepada masyarakat dengan bunga yang seharusnya diterima bank, sedangkan dananya sepenuhnya berasal dari bank.

Adapun pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk FLPP sebesar Rp9,7 trilliun dan bantuan uang muka pembelian rumah Rp1,2 triliun. Dengan demikian, total anggaran yang digelontorkan anggaran pemerintah tahun ini untuk penyediaan rumah bagi MBR mencapai sekitar Rp 14 triliun. 



Sayangnya, anggaran sebesar Rp14 trilliun tersebut tak bisa sepenuhnya digunakan untuk pembiayaan perumahan. Pasalnya, menurut Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, sebagian dana tersebut akan direalokasikan untuk pembangunan infrastruktur Asian Games. Dengan demikian, diperkirakan akan terdapat selisih antara anggaran yang tersedia dan kebutuhan anggaran untuk memenuhi target. 

"Karena perumahan (Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR) juga menggarap proyek Asian Games, maka sebagian (anggaran perumahan) dialihkan," terangnya.

Pemerintah pun saat ini tengah menghitung kembali anggaran yang dibutuhkan untuk menjamin  keberlanjutan program subsidi rumah demi mewujudkan target satu juta rumah Jokowi. 

Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti mengungkapkan, Kementerian PUPR yang pasti akan mengajukan penambahan anggaran untuk program SSB dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) tahun ini. 

"Ini masih dihitung, karena ini bayarannya berbeda dengan FLPP. Pemerintah terus terang anggarannya masih terbatas," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/6).

Kendati demikian, hingga kuartal pertama tahun ini, Kementerian PPR mencatat, realisasi program sejuta rumah baru mencapai 169.614 unit. Angka tersebut sebenarnya masih cukup jauh dari target yang diinginkan pemerintah tahun ini.

Realisasi pembangunan program sejuta rumah memang bukan hanya kali ini menghadapi tantangan. Kendati anggarannya membengkak pada dua tahun pertama program tersebut berjalan, jumlah rumah yang mampu direalisasikan pemerintah masih berada dibawah target.
Di tahun perdananya, pemerintah hanya mampu merealisasikan sekitar 668.000 rumah untuk perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maupun non MBR. 

Rincian realisasinya, rumah MBR sebanyak 429.875 unit, yang terdiri dari 353.120 unit pembangunan rumah baru dan 76.755 unit renovasi rumah. Sedangkan untuk rumah non-MBR atau hunian komersial tercapai 237.813 unit. Total realisasi meleset jauh dari target untuk MBR 603.516 unit dan 396.484 unit untuk hunian komersial. 

Memasuki tahun kedua, program sejuta rumah juga masih belum mampu menggenapi realisasi kebutuhan rumah menjadi satu juta unit dalam setahun. Kendati demikian, realisasinya meningkat menjadi sekitar 800.000 rumah. Dari jumlah itu, rumah untuk MBR sebanyak 155.408 unit dan rumah untuk non MBR sebanyak 14.206 unit.

Meski menghadapi sejumlah permasalahan, pemerintah kemungkinan akan tetap mempertahankan subsidi perumahan dan mengejar target program satu juta rumah.  


Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk  (BCA) David Sumual mengatakan, isu keterbatasan anggaran dalam program satu juta rumah merupakan masalah yang cukup sulit bagi pemerintah. Pasalnya, pemerintah harus jeli dalam memutuskan realokasi anggaran subsidi ditengah kemungkinan tak tercapainya target penerimaan pemerintah dan melebarnya defisit APBNP. 

"Ini cukup dilema, dari sisi anggaran pemerintah saat ini tengah ketat, apalagi proyeksi defisitnya baru saja dinaikkan. Tapi di sisi lain, pemerintah juga punya keinginan membantu masyarakat kurang mampu untuk memiliki rumah," ujar David. 

Meski dilema, menurut dia, pemerintah disarankan tak menghentikan program tersebut. Pasalnya, tanpa progam subsidi, proyek pembangunan satu juta rumah sulit berjalan. Padahal, proyek tersebut dinilai memiliki efek besar dalam pertumbuhan ekonomi, karena mampu melibatkan banyak sektor dalam pembangunannya. 

Disamping itu, menurut dia, penyaluran subsidi KPR merupakan program subsidi yang tepat sasaran. Pasalnya, program tersebut mengarah kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang betul-betul membutuhkan rumah, tetapi memiliki keinginan untuk mengangsur kredit rumah. Pemberian subsidi ini pun dilakukan secara hati-hati oleh bank karena bisa menimbulkan risiko kredit macet bagi bank penyalur.

"Subsidi ini sudah tepat, daripada subsidi energi listrik atau BBM yang banyak disalahgunakan. Tapi perlu diperhatikan, jangan sampai subsidi ini justru memunculkan spekulan dan memicu melambungnya harga properti (bubble property)," ujarnya. 

Sementara itu, Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menjelaskan, program satu juta rumah tak hanya menghadapi permasalahan dari sisi permintaan, tetapi juga penawaran.  Dari sisi permintaan, menurut dia, terdapat kelebihan permintaan yang terlihat dari terus meningkatnya backlog perumahan setiap tahunnya. 

Adapun dari sisi penawaran, menurut dia, terdapat pula sejumlah permasalahan seperti kendala lahan, perizinan, kelembagaan, hingga tidak adanya perbedaan perlakuan antara pengembang MBR dan non MBR. Selain itu, terdapat kendala lain terkait pembiayaan, khususnya bagi perumahan untuk MBR.

Dia pun menekankan pemerintah harus lebih agresif dalam mendorong ketersediaan perumahan bagi MBR. Pasalnya hingga kini, menurut dia, subsidi dan asuransi KPR bagi MBR yang digalakkan pemerintah belum cukup mendorong kepemilikan rumah bagi MBR. 

“Ada sebagian masyarakat, seperti pekerja informal (pedagang bakso. pedagang gorengan, perdagang kaki lima dan sejenisnya) yang kesulitan mengakses KPR dikarenakan ketiadaan dokumen formal pendukung aplikasi KPR, padahal mereka sebenarnya mampu dari sisi finansial,” tambahnya.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER