ANALISIS

Izin Ganda di Balik Kegagalan Ekspansi 7-Eleven ke Kota Lain

CNN Indonesia
Rabu, 28 Jun 2017 08:30 WIB
Sejak diminta untuk memiliki dua izin yaitu untuk restoran dan ritel, praktis 7-Eleven tak mampu berekspansi ke kota lain di luar Jakarta.
Seluruh gerai 7-Eleven di Jakarta akan ditutup pada 30 Juni 2017 ini. (CNN Indonesia/Yuliyanna Fauzi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan matinya bisnis ritel 7-Eleven murni karena keterbatasan perusahaan dalam menghadapi seluruh sentimen yang mendera.

Apindo juga membantah bangkrutnya perusahaan waralaba asal Dallas, Amerika Serikat, ini karena tak mampu bertahan dari derasnya persaingan antarsesama pelaku ritel.

"Tutupnya 7-Eleven bukan karena persaingan, ini yang perlu saya luruskan. Itu hal yang wajar dan bisa terjadi pada perusahaan mana pun," ujar Ketua Umum Aprindo Roy Mandey kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Roy menjelaskan sentimen yang dihadapi perusahaan yang berada di bawah bendera PT Modern Internasional tersebut. Pertama, keagresifan rencana bisnis 7-Eleven tak mendapat dukungan dari pemerintah, terkait pemberian izin membuka gerai ritel asing.

Ia menuturkan, sejak mendapat lisensi waralaba dari Seven & I Holdings Co, pemegang kepemilikan 7-Eleven global, Modern Internasional langsung memetakan bisnis dengan agresif.

Hal ini terlihat dengan menjamurnya 100 gerai 7-Eleven di Ibukota DKI Jakarta dalam kurun waktu lima tahun. Sebagai pemain baru, bagi Roy, ini pencapaian yang cukup memuaskan. Apalagi, 7-Eleven di masa jayanya pada 2014 berhasil mengambil hati para muda-mudi ibu kota untuk menongkrong di gerainya.

Salah satu outlet 7-Eleven yang ditutup di area Jalan Kapten P. Tendean di Jakarta.Salah satu outlet 7-Eleven yang ditutup di area Jalan Kapten P. Tendean di Jakarta. (CNN Indonesia/Yuliyanna Fauzi)
Namun, lisensi waralaba dan rencana bisnis tersebut diganjar oleh rumitnya perizinan. Mulanya, Dinas Pariwisata DKI Jakarta memberian izin restoran kepada 7-Eleven karena izin ini tak mempermasalahkan kepemilikan asing pada bisnis tersebut.

Sementara itu, waralaba ritel seharusnya memiliki ketentuan soal komposisi pemegang saham asing pada bisnis.

Kemudian, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mempermasalahkan dan meminta 7-Eleven juga mengantongi izin waralaba ritel. Hal ini karena perusahaan tersebut turut menjual produk-produk yang sama dijual dengan pelaku ritel lainnya. Artinya, 7-Eleven perlu dua izin.

Dengan kerumitan izin tersebut, menurut Roy, 7-Eleven jadi sulit mengembangkan bisnis ke luar Jakarta apalagi sampai ke seluruh Indonesia, layaknya beberapa pesaing di dunia ritel. Padahal, ekspansi jadi kunci sukses mengerek keuntungan.

"Ini akibat peraturan pemerintah yang belum direvisi sesuai dengan perkembangan zaman. Ini yang namanya ketidaksesuaian antara aturan dengan kenyataan yang terjadi," kata Roy.
Seluruh gerai 7-Eleven akan ditutup pada 30 Juni ini. Seluruh gerai 7-Eleven akan ditutup pada 30 Juni ini.  (CNN Indonesia/Yuliyanna Fauzi)
Pertumbuhan Industri Ritel

Roy juga menyebut ada pertumbuhan industri ritel di tahun yang sama saat bisnis 7-Eleven melemah. Masa kejayaan ritel yang terkenal dengan minuman dingin 'Slurpee' itu bersamaan dengan suburnya pertumbuhan ritel Tanah Air yang bahkan mampu tumbuh di kisaran 12 persen sampai 14 persen.

Namun, memasuki 2015, pertumbuhan ritel nasional kehilangan gairah di kisaran 8 persen sampai 9 persen. Otomatis, 7-Eleven terbawa arus penurunan tersebut.

Hanya saja, ketika ritel lain mampu ekspansi ke kota-kota lain untuk menahan perlambatan, 7-Eleven hanya mengandalkan pasar ibu kota.

"Ketika industri turun, semua ritel mengencangkan ikat pinggang. Tapi kalau ikat pinggang kencang, namun ekspansi tidak tumbuh, artinya pertumbuhan jadi kian lambat," imbuh Roy.

Ketiga, sebagai bisnis waralaba, kebijakan 7-Eleven lebih banyak bertumpu pada induknya. Roy berpendapat hal ini turut mempengaruhi kegagalan rencana akusisi dari PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk.

Hal ini dikarenakan tak lancarnya restu dari induk yang telah mempercayai pengelolaan waralaba di tangan Modern Internasional.

"Yang saya dengar, ada ketidakcocokan dengan prinsipal 7-Eleven, sehingga tidak mendapat izin dari induknya di AS. Jadi, penyelamatan tak bisa, akhirnya mengambil keputusan untuk tutup," jelas Roy.

Semula 7-Eleven menjadi salah satu toko dengan koleksi minuman beralkohol paling lengkap. Semula 7-Eleven menjadi salah satu toko dengan koleksi minuman beralkohol paling lengkap. (Elisa Valenta Sari)
Kendati begitu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan pandangan yang berbeda. Ia bilang, bangkrutnya 7-Eleven murni karena kehilangan daya saing dibandingkan para kompetitornya, seperti Alfamart yang berada di bawah bendera PT Sumber Alfaria Trijaya dan Indomaret yang bernaung di PT Indomarco Prismatama.

Kedua ritel tersebut, sambung Heri, memiliki konsep bisnis yang jelas sebagai minimarket sehingga izinnya jelas dan mudah didapat.

Lalu, baik Alfamart dan Indomart juga menjalankan bisnis dengan sangat efisien sehingga mampu mengeruk laba dari masyarakat. Belum lagi, ekspansi bisnis dari kedua pemain tersebut, sudah lebih luas dibandingkan 7-Eleven.

Sedangkan 7-Eleven memerlukan biaya operasional yang terbilang boros dengan gerai yang lebih luas, daya listrik yang dibutuhkan lebih besar, buka 24 jam, dan fasilitas penunjang lain, seperti internet gratis dan tempat duduk serta mesin-mesin tambahan.

"Ini berbeda dengan konsep awal juga, kalau di luar itu kan toko kelontong kecil, pasarnya minimarket," kata Heri.

Indikator kedua berikutnya bagi Heri, yaitu lemahnya daya saing karena produk yang dijual relatif lebih mahal, sehingga tak bisa memenangkan hati konsumen untuk berbelanja, dibandingkan kompetitor lain.

"Produk yang dijual sama dengan minimarket lain tapi harganya lebih tinggi. Konsumen kan maunya mencari produk yang lebih murah, yang lebih bersaing," ucap Heri.

Ketiga, 7-Eleven tak bisa membuat karakteristiknya sebagai penyediaan produk impor menjadi sebuah keunggulan dari kompetitornya. Padahal, menurut Heri, 7-Eleven memiliki akses penjualan produk impor yang lebih luas dibandingkan kompetitornya, namun tak berhasil membuat konsumen tertarik.

Keempat, ada 'bonus' dari regulasi pemerintah yang rumit sehingga iklim bisnis 7-Eleven kian terganggu, mulai dari ketidakjelasan aturan perizinan sampai larangan menjual minuman alkohol (minol). Alhasil, segudang hal itu menggerus daya saing gerai ritel yang sempat 'hits' menjadi tempat 'nongkrong' muda-mudi Jakarta hingga terpaksa tutup di akhir Juni ini.

Seperti diketahui, sejak 2009, 7-Eleven hadir di Tanah Air. Sampai pertengahan 2011, 7-Eleven memiliki sekitar 50 gerai dan terus berekspansi hingga memiliki gerai dua kali lipat pada 2012 dan mencapai 190 gerai di 2014. Namun, pada 2015, bisnis mulai lesu, 7-Eleven terpaksa menutup sekitar 20 gerainya di tahun itu.

Lalu, pada 2016, 25 gerai ditutup dan 30 gerai menyusul sejak awal tahun ini hingga Maret 2017. Namun, puncaknya pada 30 Juni mendatang, seluruh gerai tutup serempak lantaran adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai itu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER