Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengusulkan besaran premi Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) sebesar 0,05 persen dari total simpanan bank. Dengan asumsi total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan di Indonesia sekitar Rp5 ribu triliun, industri perbankan setidaknya menyetor Rp2,5 triliun per tahun.
"Usulan (premi PRP) yang kami usulkan itu kecil sekali," ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah dalam acara makan siang bersama pimpinan media di Hotel Fairmont Jakarta, Selasa (11/7).
Premi PRP merupakan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Berbeda dengan premi penjaminan simpanan, premi PRP akan digunakan untuk membiayai program restrukturisasi perbankan jika terjadi krisis keuangan. Dalam beleid yang sama, LPS mendapatkan mandat untuk mengumpulkan premi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara undang-undang, kami tidak diperbolehkan menggunakan premi penjaminan membiayai operasional PRP," ujar Halim.
Diakui Halim, sebagian industri masih keberatan atas pungutan premi tambahan mengingat saat ini industri juga telah menanggung berbagai biaya. Kendati demikian, premi PRP akan membantu pemilik dan pengurus bank jika terjadi krisis keuangan seperti tahun 1997/1998. Kala itu, biaya pemulihan atau resolusi krisis mencapai 60 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Selain menjadi sumber pendanaan saat krisis, premi PRP juga memaksa manajemen perbankan menjadi lebih hati-hati
(prudent).
Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti menambahkan, jika industri menyetor Rp2,5 triliun per tahun, Indonesia membutuhkan waktu sekitar 100 tahun untuk mencapai target dana bantalan krisis sebesar 2 persen dari PDB atau sekitar Rp240 triliun.
Hingga kini, besaran premi PRP masih dibahas oleh LPS bersama pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nantinya, besaran premi PRP akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
"Kami terus
intens membahas mengenai premi PRP. LPS tidak bisa sendiri memutuskan (premi PRP) tetapi memang harus melihat bagaimana masukan, khususnya dari OJK, yaitu kondisi bank seperti apa," jelas Destry.
Kalaupun nantinya besaran premi PRP telah ditetapkan, LPS akan memberikan waktu tenggang pembayaran (
grace period) dengan melihat kesiapan industri.
"Kapan diterapkannya memang menjadi kesepakatan bersama," jelas Destry.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) meminta besaran premi tambahan untuk PRP tak memberatkan industri. Pasalnya, industri perbankan saat ini masih dalam proses pemulihan kinerja setelah menghadapi perekonomian yang melambat sejak tahun lalu.
"Kalau memungut biaya untuk program restukturisasi perbankan ataupun yang lain, kalau bisa tidak terlalu memberatkan bank, karena mereka (mereka) sedang dalam taraf pemulihan," tutur Agus usai peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) di Gedung Thamrin BI beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data terakhir Bank Indonesia, total DPK perbankan hingga Mei 2017 tercatat Rp4.876 triliun. Jumlah tersebut meningkat 10,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.