Jakarta, CNN Indonesia -- Ade Gunawan, pengemudi ojek pangkalan di Bogor, mengeluh. Ia mengaku, kesulitan mencari Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dalam beberapa waktu terakhir. Setiap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang ia sambangi mengklaim tak lagi menyediakan BBM dengan kadar oktan 88 tersebut.
"Saya sudah lama mencari premium, tak pernah dapat. Biasanya SPBU dekat sini menyediakan premium, tapi ini tidak ada sama sekali. Padahal, saya sangat butuh sekali. Kalau pun sedia premium, pasti selalu habis duluan," ujar Ade kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (21/7).
Dengan harga Rp6.550 per liter, premium masih menjadi primadona karena harganya yang relatif murah. Tidak heran, penggunaan BBM bisa membantu beban operasionalnya sehari-hari. Apalagi, saat ini, permintaan jasa ojek pangkalan tengah menurun lantaran bersaing dengan ojek daring.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ade menduga, ada upaya PT Pertamina (Persero) untuk mengurangi stok BBM jenis premium dan memaksa masyarakat untuk beralih ke BBM jenis lainnya, yang harganya lebih tinggi.
"Saya sudah keliling, memang susah cari premium. Padahal, itu harganya murah dibanding BBM lain, jeda harganya jauh sekali. Ini terasa sekali, karena sekarang yang pakai ojek saya pun makin sedikit," katanya.
Setali tiga uang, Ikbal juga mengaku mengalami hal serupa. Pria yang bekerja sebagai petugas keamanan itu pun kesusahan mendapatkan premium belakangan ini. Sehingga, mau tak mau ia harus menggunakan BBM jenis lain yang lebih mahal.
Meskipun, ia tidak menyesal telah mengubah konsumsinya ke BBM jenis lain. "Memang, lebih mahal sih, tapi tarikan mesin saya jadi lebih bagus," paparnya.
BBM jenis premium tampaknya perlahan sudah mulai sirna di pasaran. Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) per Juni menyebut, ada 1.904 SPBU yang kedapatan tak lagi menjual premium.
Angka ini tercatat 34,75 persen dari total seluruh SPBU Pertamina di seluruh Indonesia yang mencapai 5.480 SPBU. Meski begitu, masih terlalu dini untuk menilai bahwa biang keladi minimnya stok premium adalah kesengajaan perusahaan minyak pelat merah tersebut.
 Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) per Juni menyebut, ada 1.904 SPBU yang kedapatan tak lagi menjual premium. (CNN Indonesia/Safir Makki). |
Direktur Pemasaran Pertamina Mochammad Iskandar menyebut, berkurangnya persediaan Premium di SPBU disebabkan karena keputusan pengusaha pom bensin itu sendiri. Sebab, pengusaha SPBU mengaku permintaan BBM jenis lain melesat, misalnya Pertalite dan Pertamax.
Salah satu alasan banyak konsumen migrasi jenis BBM karena perbedaan harga yang relatif dekat antara premium dan dua BBM jenis lainnya. Tengoklah, tahun lalu, jeda harga antara premium dan dua BBM itu hanya terpaut Rp300 hingga Rp400 per liternya.
"Karena
gap-nya masih Rp400 per liter, masyarakat berbondong-bondong pindah konsumsi BBM. Kami tak pernah memaksa SPBU untuk menghilangkan premium. Kalau premium kosong, itu inisiatif pengusaha," terang Iskandar.
Namun, ia tak memungkiri masyarakat yang ingin kembali menggunakan premium gara-gara jeda harganya kini terpaut cukup jauh. Saat ini, harga pertalite dan pertamax di wilayah Jakarta masing-masing mencapai Rp7.500 per liter dan Rp8.250 per liter.
Itu artinya, perbedaan harga dengan premium masing-masing mencapai Rp950 per liter dan Rp1.700 per liter. "Nah, sekarang gap-nya sudah cukup tinggi. Sementara itu, fasilitas SPBU sebagian besar sudah diubah untuk menjual pertalite atau pertamax," imbuh dia.
Sekretaris Jenderal Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Syarief Hidayat mengungkapkan, pengusaha memang berinisiatif mengurangi persediaan premium di SPBU lantaran konsumsi masyarakat juga mulai bergeser.
Menurut dia, perubahan pola konsumsi ini muncul ketika Pertamina menelurkan pertalite ketika harga minyak dunia di bawah US$50 per barel.
Implikasinya, saat ini, banyak mobil yang menggunakan pertalite. Sementara, sepeda motor pada umumnya masih doyan menggunakan pertamax.
Namun, karena permintaan yang tinggi, akhirnya selang-selang premium pun diganti dengan selang pertalite atau pertamax. Di sisi lain, pengusaha juga enggan memperluas fasilitasnya karena terhambat lahan dan biaya investasi.
"Teman-teman SPBU banyak yang ambil kesimpulan isi pertalite daripada premium. Lalu, permintaan itu diajukan ke Pertamina. Sayangnya, tangki bensin yang kami miliki ini terbatas empat hingga lima tangki per SPBU. Kalau mau isi pertalite atau pertamax, harus ada stok BBM lain yang dikorbankan," ungkapnya.
Sebagai pengusaha, berjualan pertalite atau pertamax pun lebih untung karena memiliki margin yang lebih tinggi. Dengan volume penjualan yang lebih sedikit, pengusaha dapat mendulang untung lebih banyak ketimbang menjual premium.
Pun demikian, pengusaha mengaku masih tetap akan menyediakan premium di lokasi yang permintaannya tinggi, seperti terminal angkutan umum atau daerah yang jauh dari pusat kota. "Tetapi, kalau daerah prime, seperti Pondok Indah, tentu saja kami sesuaikan suplai dengan permintaanya," tutur Syarief.
Pelaku usaha dan masyarakat boleh saja punya argumen soal lenyapnya premium di pasaran. Namun, patut diingat, di tengah tergerusnya permintaan, premium harus tetap ada bagi masyarakat, berapa pun jumlahnya.
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengingatkan Pertamina untuk tetap menjual premium karena sifatnya yang merupakan BBM penugasan pemerintah. Khususnya, bagi pom bensin yang terletak di luar Jawa.
Ia beralasan, pernyataan itu sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Di dalam beleid tersebut, premium dianggap BBM umum di pulau Jawa, Madura, dan Bali. Tetapi, premium dianggap sebagai BBM penugasan di luar tiga pulau itu.
"Kami tegaskan, di luar Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), kami meminta Pertamina untuk menjual premium, karena ini penugasan. Adapun, kalau secara prinsip, di Perpres tersebut juga tertulis kalau Premium di wilayah Jamali ini sudah masuk subsidi silang," pungkasnya.