Sujarto hanya satu dari sekian banyak contoh pekerja yang memilih untuk mengejar pendapatan yang lebih tinggi dengan merantau ke kota besar. Pengamat perburuhan dari Universitas Indonesia (UI) Hari Nugroho mengatakan, perkembangan ketentuan upah dari tahun ke tahun memang terus meningkat, begitu pun dengan nominal upah yang diterima pekerja.
Namun, masih terdapat ketimpangan upah yang tinggi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Batas standar upah secara wilayah juga perlu kembali dikaji.
"Saat ini masih ada ketimpangan, misalnya upah di Jawa Tengah sekitar Rp1,4 juta per bulan, sedangkan di Jakarta bisa Rp3,1 juta per bulan. Memang harga kebutuhannya berbeda tapi seharusnya jaraknya tak sejauh itu," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, diakui Hari, penetapan upah buruh saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan ketika orde baru lalu. Kini, menurut dia, pekerja memiliki kesempatan untuk berunding dalam menetapkan komponen pembentuk upah minimum.
"Dulu di era orde baru, penciptaan upah minimum untuk bersaing di era global. Sayangnya dulu tak ada kebebasan buruh untuk berunding. Baru saat reformasi, buruh diajak berunding dan mendirikan serikat," ungkap Hari.
Serikat pekerja tersebut, sambungnya bisa membuat aspirasi untuk mengevaluasi KHL kian membaik dari tahun ke tahun. Batas upah, bahkan menurut dia, dalam perkembangannya dari tahun ke tahun, menjadi salah satu strategi bagi elit politik mendulang dukungan kala musim pemilihan kepala daerah.
Hal tersebut menurut dia, di satu sisi, mendorong kenaikan gaji dan kesejahteraan buruh. Namun, di sisi lain, mendatangkan kesulitan bagi pengusaha, terutama yang bergerak dibidang industri padat karya, seperti tekstil dan garmen.
"Mereka bukan tidak mau meningkatkan upah, tapi kebutuhan pekerja yang banyak dan upah yang harus selalu dinaikkan, jadi susah juga," jelasnya.
Formulasi peningkatan upah setiap tahun pun menurut dia, diharapkan menciptakan keadilan bagi pertumbuhan batas upah bagi pekerja. Namun, di sisi lain, pemerintah juga perlu menjaga laju inflasi, khususnya gejolak harga kebutuhan sehari-hari yang membuat kemampuan konsumsi masyarakat berkurang.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartanti melihat, seiring bertambahnya usia negeri, permasalahan upah masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
"Masalahnya, seiring bertambahnya usai negeri ini, pemerintah masih belum bisa mengendalikan harga bahan pokok untuk memerdekakan upah buruh," ujar Enny.
Ia menjelaskan, persoalan upah saat ini bukan hanya pada soal nominal. Sebab, setiap tahun ada formulasi kenaikan nominal upah minimum, yaitu berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi, ditambah inflasi dan KHL. Sayangnya, di satu sisi, fungsi upah bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan peningkatan secara nominal saja.
Namun, harus pula memenuhi nilai tukar kebutuhan. Pasalnya, sambung Enny, kalau upah naik dan kebutuhan pekerja meningkat, itu tidak bisa diselesaikan secara nominal saja. Perlu andil untuk menjaga nilai tukar kebutuhan agar tetap stabil.
"Jadi, pemerintah perlu pastikan, bukan hanya bagaimana memberikan upah yang layak. Tapi bagaimana menyelesaikan persoalan agar rumah bagi buruh ini terjangkau, biaya energi yang harus dibayar tidak mahal-mahal. Itu lebih mengena dibanding hanya mengurus besaran upah," terang Enny.
Menurut Enny, jika upaya kesejahteraan pekerja hanya dilakukan dengan mengerek nominal upah, ini hanya akan menjadi beban bagi industri. Pasalnya, jika laju kenaikan harga cukup signifikan tiap tahunnya, maka industri juga akan dituntut menaikkan upah secara signifikan setiap tahunnya ynag membuat meningkatnya beban biaya dan mempengaruhi daya saing industri.
"Kalau bebannya di pengusaha, mereka bisa saja naikan upah tapi daya saing mereka bisa kena. Apalagi industri padat karya. Ini bisa jadi bumerang," imbuh Enny.
Di samping itu, Enny juga menilai perlu adanya patokan upah yang lebih berkeadilan untuk seluruh daerah. "Misal Jakarta sudah ada, upahnya sudah lumayan. Tapi daerah lain masih ada yang upahnya sekitar Rp1 juta sampai Rp2 juta. Memang beda kebutuhannya, mungkin di sana lebih murah biaya hidup. Tapi kan sama-sama beli bahan pangan yang sama. Jadi, perlu benchmark yang sama," pungkas Enny.