Jakarta, CNN Indonesia -- Ingatan Sujarto (39) masih lekat, saat pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pada 2007 silam. Berangkat dari Temanggung, Jawa Tengah, ia membawa istri dan satu orang anaknya yang masih balita, meninggalkan kampung halaman demi menjajal peruntungan di ibu kota.
Saat itu, Sujar, sapaan akrabnya, bertekad mendapatkan pekerjaan tetap dengan upah minimum ala Kota Metropolitan. Sebab, ia bilang, batas upah di daerah asalnya yang terkenal sebagai penghasil tembakau itu sangat kecil, hanya sekitar Rp400 ribu per bulan.
"Dulu kata teman saya, di Jakarta bisa dua kali lipat, bisa sampai Rp900 ribu," ucap Sujar saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, awal Agustus lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbekal motivasi mendapatkan upah ganda itu, ia pun mencoba melamar pekerjaan ke beberapa tempat. Dengan modal ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA), Sujar mendapatkan pekerjaan sebagai seorang kurir di sebuah perusahaan logistik dengan gaji Rp900 ribu per bulan.
Sayang, meski mendapat upah seperti yang diharapkan, nafasnya engap untuk membiayai keluarga kecilnya. Sebab, biaya hidup di Jakarta rupanya cukup menguras kantong. Sementara, tambahan jam kerja yang dilakoninya, tak berbuah penambahan uang lembur.
"Ternyata kalau dipakai untuk bayar kontrakan, makan sehari-hari, beli kebutuhan rumah, kebutuhan anak, itu terlalu pas-pasan. Susah menabung," imbuh Sujar.
Dua tahun kemudian, Sujar memilih keluar dari pekerjaannya. Ia kemudian mencoba peruntungan di sektor informal, membuka usaha toko kelontong di depan kontrakan yang ditempatinya.
Namun, belum genap dua tahun, Sujar menyerah. Ia bilang, pendapatannya tergerus toko ritel, seperti minimarket dan hypermarket yang kian menjamur dan berhasil menarik hati masyarakat.
"Saya merasakan sendiri rasanya kalah sama minimarket. Sering ada yang belanja di toko saya, hanya untuk beli satu dua barang yang mungkin kebetulan tidak ada di minimarket. Tapi mereka bawa kantong-kantong hasil belanja mereka di minimarket," kisahnya.
Akhirnya, Sujar banting stir lagi. Ia kembali mengandalkan kerja dengan upah tetap pada tahun 2012. Harapannya, mungkin upah yang didapat sudah lebih mencukupi.
Memang, lima tahun berselang dari batas upah yang pernah didapatnya, upah telah bertambah, seperti halnya yang diatur pemerintah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam UU tersebut, pertumbuhan Upah Minimum Provinsi (UMP) meningkat sesuai dengan Komponen Hidup Layak (KHL) yang disesuaikan setiap lima tahun.
Pada 2012, pemerintah merevisi KHL menjadi 60 jenis kebutuhan sehari-hari dari semula 46 jenis, dengan landasan hukum Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2012. Saat itu, beberapa komponen ditambahkan, mulai dari kategori komponen makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, hingga rekreasi penunjang pekerja.
Alhasil, upah yang didapatnya meningkat sejak lima tahun lalu, dari Rp900 ribu per bulan menjadi Rp1,5 juta per bulan. Selain itu, ia juga mendapat pertambahan upah dari tahun ke tahun, sesuai dengan formulasi kenaikan UMP yang bergantung pada KHL, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi.
Hal ini membuatnya bertahan, setidaknya sampai tiga tahun, sembari menjadi penjual pulsa elektronik untuk menambal kebutuhan keluarganya.
"Awalnya cukup tapi kemudian tidak lagi. Kan anak saya harus masuk sekolah dan anak kedua saya lahir," kata Sujar.
Lalu, ia menyerah lagi pada pekerjaan dengan upah tetap itu. Meski upah yang diterima, sebenarnya naik cukup tinggi dalam tiga tahun, menjadi sekitar Rp2,4 juta per bulan pada 2015.
"Sebenarnya lumayan naik gajinya tapi kebutuhan kan bertambah. Biaya kontrakan saja naik terus sudah hampir Rp750 ribu per bulan. Belum untuk yang lain-lain," tutur Sujar.
Pada tahun 2015, ia melirik pekerjaan sebagai pengemudi ojek berbasis aplikasi dalam jaringan (online). Inovasi di bidang jasa yang tengah subur itu dijajalnya demi mendapat upah yang lebih menjanjikan, meski upahnya tidak tetap.
"Saya daftar waktu itu di Senayan pas lagi buka lowongan besar-besaran. Apalagi waktu itu promo ojek online sedang besar-besarnya makanya butuh banyak pengemudi. Upahnya memang tidak tetap sih tapi saya mikirnya, mungkin lebih baik," kata Sujar.
Setelah menjadi pengemudi ojek
online dalam beberapa bulan, Sujar bilang, penghasilannya kala itu bisa tembus Rp5 juta sampai Rp6,5 juta per bulan, drastis dari upah terakhirnya. Bahkan, kata Sujar, tak sedikit pekerja kantoran yang semula upahnya lebih tinggi darinya, ikut mencari peruntungan sebagai pengemudi ojek online.
Memang kebetulan, masyarakat antusias dengan ojek online yang mampu memecah kemacetan ibu kota yang terus menggila. Di sisi lain, jasa ojek online tengah memasang promo yang besar bagi penggunanya.
Sampai sekarang, Sujar mengatakan, upah tetap yang dijanjikan rupanya masih belum bisa memenuhi kebutuhannya di ibu kota dengan biaya hidup yang tak kalah besar, sehingga upah bekerja secara informal lebih dipilihnya, setidaknya sampai dua tahun ini.
Sujarto hanya satu dari sekian banyak contoh pekerja yang memilih untuk mengejar pendapatan yang lebih tinggi dengan merantau ke kota besar. Pengamat perburuhan dari Universitas Indonesia (UI) Hari Nugroho mengatakan, perkembangan ketentuan upah dari tahun ke tahun memang terus meningkat, begitu pun dengan nominal upah yang diterima pekerja.
Namun, masih terdapat ketimpangan upah yang tinggi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Batas standar upah secara wilayah juga perlu kembali dikaji.
"Saat ini masih ada ketimpangan, misalnya upah di Jawa Tengah sekitar Rp1,4 juta per bulan, sedangkan di Jakarta bisa Rp3,1 juta per bulan. Memang harga kebutuhannya berbeda tapi seharusnya jaraknya tak sejauh itu," katanya.
Kendati demikian, diakui Hari, penetapan upah buruh saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan ketika orde baru lalu. Kini, menurut dia, pekerja memiliki kesempatan untuk berunding dalam menetapkan komponen pembentuk upah minimum.
"Dulu di era orde baru, penciptaan upah minimum untuk bersaing di era global. Sayangnya dulu tak ada kebebasan buruh untuk berunding. Baru saat reformasi, buruh diajak berunding dan mendirikan serikat," ungkap Hari.
Serikat pekerja tersebut, sambungnya bisa membuat aspirasi untuk mengevaluasi KHL kian membaik dari tahun ke tahun. Batas upah, bahkan menurut dia, dalam perkembangannya dari tahun ke tahun, menjadi salah satu strategi bagi elit politik mendulang dukungan kala musim pemilihan kepala daerah.
Hal tersebut menurut dia, di satu sisi, mendorong kenaikan gaji dan kesejahteraan buruh. Namun, di sisi lain, mendatangkan kesulitan bagi pengusaha, terutama yang bergerak dibidang industri padat karya, seperti tekstil dan garmen.
"Mereka bukan tidak mau meningkatkan upah, tapi kebutuhan pekerja yang banyak dan upah yang harus selalu dinaikkan, jadi susah juga," jelasnya.
Formulasi peningkatan upah setiap tahun pun menurut dia, diharapkan menciptakan keadilan bagi pertumbuhan batas upah bagi pekerja. Namun, di sisi lain, pemerintah juga perlu menjaga laju inflasi, khususnya gejolak harga kebutuhan sehari-hari yang membuat kemampuan konsumsi masyarakat berkurang.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartanti melihat, seiring bertambahnya usia negeri, permasalahan upah masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
"Masalahnya, seiring bertambahnya usai negeri ini, pemerintah masih belum bisa mengendalikan harga bahan pokok untuk memerdekakan upah buruh," ujar Enny.
Ia menjelaskan, persoalan upah saat ini bukan hanya pada soal nominal. Sebab, setiap tahun ada formulasi kenaikan nominal upah minimum, yaitu berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi, ditambah inflasi dan KHL. Sayangnya, di satu sisi, fungsi upah bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan peningkatan secara nominal saja.
Namun, harus pula memenuhi nilai tukar kebutuhan. Pasalnya, sambung Enny, kalau upah naik dan kebutuhan pekerja meningkat, itu tidak bisa diselesaikan secara nominal saja. Perlu andil untuk menjaga nilai tukar kebutuhan agar tetap stabil.
"Jadi, pemerintah perlu pastikan, bukan hanya bagaimana memberikan upah yang layak. Tapi bagaimana menyelesaikan persoalan agar rumah bagi buruh ini terjangkau, biaya energi yang harus dibayar tidak mahal-mahal. Itu lebih mengena dibanding hanya mengurus besaran upah," terang Enny.
Menurut Enny, jika upaya kesejahteraan pekerja hanya dilakukan dengan mengerek nominal upah, ini hanya akan menjadi beban bagi industri. Pasalnya, jika laju kenaikan harga cukup signifikan tiap tahunnya, maka industri juga akan dituntut menaikkan upah secara signifikan setiap tahunnya ynag membuat meningkatnya beban biaya dan mempengaruhi daya saing industri.
"Kalau bebannya di pengusaha, mereka bisa saja naikan upah tapi daya saing mereka bisa kena. Apalagi industri padat karya. Ini bisa jadi bumerang," imbuh Enny.
Di samping itu, Enny juga menilai perlu adanya patokan upah yang lebih berkeadilan untuk seluruh daerah. "Misal Jakarta sudah ada, upahnya sudah lumayan. Tapi daerah lain masih ada yang upahnya sekitar Rp1 juta sampai Rp2 juta. Memang beda kebutuhannya, mungkin di sana lebih murah biaya hidup. Tapi kan sama-sama beli bahan pangan yang sama. Jadi, perlu benchmark yang sama," pungkas Enny.