Memimpikan Setruman Listrik di Tengah Pusaran Hutan Jati

CNN Indonesia
Rabu, 16 Agu 2017 13:58 WIB
Ironis, meski dekat dengan sumber listrik, warga Dusun Sukamulya, Kecamatan Ciampel, Karawang, tak pernah mencicipi setruman listrik.
Suasana rumah di dusun Sukamulya, desa Mulyasejati, Kabupaten Karawang.(CNN Indonesia/Galih Gumelar)
Jakarta, CNN Indonesia -- Atim Suryadi tengah bersantai di beranda rumahnya. Pria berusia 35 tahun ini sedang melepas lelah pasca mengajar siswa usia Sekolah Dasar di dekat rumahnya. Sambil menghisap sebatang rokok, ia berkisah mengenai dusun yang telah menjadi tempat tinggalnya selama 11 tahun terakhir.

"Saya sudah tinggal di sini sejak tahun 2006. Saya aslinya dari Bekasi. Ke sini karena ingin mengajar anak-anak di dusun sini," ujarnya kepada CNNIndonesia.com belum lama ini.

Atim merupakan satu dari warga dusun Sukamulya, yang merupakan bagian dari Desa Mulyasejati di Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Dusun ini persis terletak di tengah lebatnya hutan jati yang dikelola oleh Perum Perhutani (Persero). Luasnya tak begitu besar. Bahkan, hanya 75 Kepala Keluarga (KK) yang bernaung di dalamnya.
Atim Suryadi (35) di depan SD Mulyasejati IV, tempat ia mengajar di dusun Sukamulya, Kabupaten KarawangFoto: CNN Indonesia/Galih Gumelar
Atim Suryadi (35) di depan SD Mulyasejati IV, tempat ia mengajar di dusun Sukamulya, Kabupaten Karawang

Kendati demikian, diperlukan jibaku yang luar biasa demi mencapai dusun tersebut. Untuk menuju dusun Sukamulya, masyarakat hanya bisa berjalan kaki atau menggunakan motor sejauh 5 kilometer (km) dari dusun terdekat, yakni dusun Cisaga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab, jalanannya begitu terjal, menukik, sempit, bahkan tak beraspal. Salah langkah sedikit, bisa berujung pada bahaya. Kondisi ini semakin ironis mengingat jarak dusun Sukamulya dengan Jakarta hanya sejauh 88 kilometer (km) saja.

Namun, karena minimnya akses, dusun Sukamulya justru memiliki nuansa yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk. Oleh karenanya, ia merasa bersyukur bisa menjadikan dusun Sukamulya sebagai peraduannya selama satu dekade terakhir. Apalagi, ia juga telah menemukan tambatan hatinya di pedalaman hutan jati ini, yang tiga tahun belakangan sudah resmi menjadi istrinya.

"Di sini pun warganya saling dekat satu sama lain, karena jumlahnya juga tak banyak. Suasananya tenang. Makin betah karena istri pun masyarakat asli sini," paparnya.

Setelah puas bercerita, ia pun menunjuk jalan kecil yang terletak persis di samping rumahnya. Atim menyebut, jalan tersebut bisa berujung ke waduk Jatiluhur yang dianggapnya cukup dekat dengan dusun Sukamulya. "Dusun ini sangat dekat dengan Jatiluhur. Namun sayang, jalannya terbilang buruk dan lebih terjal dibanding jalan menuju ke kampung ini," tuturmya.

Bendungan Jatiluhur adalah bendungan terluas di Indonesia. Waduk seluas 8.300 hektare ini memiliki potensi air 12,9 miliar meter kubik per tahun dan bisa menghasilkan listrik sebesar 187 Megawatt (MW) dari enam turbin yang dikelola Perum Jasa Tirta II. Dengan kapasitas nan fantastis itu, tak heran jika Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatiluhur dinobatkan sebagai PLTA terbesar di Indonesia.

Ironis, meski dekat dengan sumber listrik, warga dusun tak pernah mencicipi setrumnya. Sejak datang ke dusun Sukamulya, Atim bercerita bahwa wilayah tersebut sudah terbiasa dengan kondisi gelap gulita. Hal ini makin kontras kala warga bisa melihat kerlap-kerlipnya kota Karawang dan Purwakarta di malam hari dari tebing yang berlokasi di dekat rumahnya.

"Memang, cukup berbeda, jika kami lihat dari atas sini, kami bisa lihat kota Karawang dan Purwakarta yang terang malam hari. Lampu-lampunya cantik, beda dengan di sini," imbuh Atim.
Padahal, menurutnya, listrik adalah kebutuhan mendasar bagi kehidupan saat ini. Jika ada listrik, ia yakin dusun Sukamulya bisa jadi lebih produktif dan bisa melakukan diversifikasi mata pencahariannya selain menjadi petani.

Oleh karenanya, ia berinisiatif membeli sebuah generator diesel dengan besaran 5 ribu Watt sebagai sumber listrik utama. Listrik itu kemudian disalurkannya ke warga sekitar yang membutuhkan tanpa dipungut biaya sepeser pun.

"Silahkan saja ambil listriknya, gratis. Asalkan, warga punya kabel untuk menyambung listrik dari generator itu ke rumahnya," terang Atim.

Puas berkisah, ia pun pamit kepada istrinya menuju Sekolah Dasar Mulyasejati IV, tempat di mana ia mengabdi. Rencananya, ia akan mengganti bendera merah putih yang sudah lusuh dan terkoyak dengan bendera baru yang lebih bersih. Waktu tempuh dari rumah ke sekolah memang hanya 10 menit, namun dengan kondisi jalan yang terjal, perjalanan terasa begitu lama dan berat.

SD Mulyasejati IV merupakan tempat belajar bagi 12 siswa yang semuanya adalah warga dusun Sukamulya. Bangunannya terbuat dari kayu dan memiliki tiga bilik. Dua bilik untuk mengajar, dan satu bilik sisanya digunakan sebagai perpustakaan. Sebagai satu-satunya pengajar di sekolah itu, Atim sudah khatam ihwal suka duka yang didera anak didiknya selama ini.

Menurut Atim, siswa di sekolahnya sangat antusias untuk belajar. Namun, karena ketiadaan listrik, murid-muridnya menjadi tidak melek teknologi. Hal ini sangat disayangkan, karena kepahaman mengenai informasi dan teknologi merupakan bekal utama ilmu pengetahuan dewasa ini. Jika teknologi bisa masuk, maka sifat penasaran anak-anak akan segala hal bisa terpuaskan.

Atim pun akan sangat gembira mengajarkan informasi dan teknologi kepada anak-anak karena ia sendiri pernah mengenyam pendidikan tinggi di jurusan Manajemen Informatika. Meski memang, ia tak menyelesaikan pendidikan itu dan merantau ke dusun yang dikelilingi pohon-pohon jati tersebut.

"Anak-anak memang perlu diajarkan teknologi sejak dini, karena jika disuapi belakangan, mereka akan kagok. Sayang, karena ketiadaan listrik, mereka jadi tak bisa merasakannya. Padahal, kalau ada listrik, saya mau memasang komputer di sekolah. Karena melatih kemampuan dan mendapatkan informasi semuanya kini berasal dari layar komputer," katanya.

Selain kehilangan kesempatan untuk mengenal teknologi, ketidakhadiran listrik juga membuat siswanya tak bisa membaca buku di malam hari. Padahal, rajin membaca adalah pangkal berpikir secara kritis. Apalagi, perpustakaan di sekolah pun memliki berbagai buku bacaan, meski koleksinya memang tidak begitu banyak.

"Kalau gelap, bawaan anak-anak kan ingin tidur saja, karena tidak ada hal lain yang bisa dikerjakan. Mungkin, kondisi ini bisa berubah kalau ada listrik," imbuhnya.
Suasana sekolah SD Mulyasejati IV, dusun Sukamulya, Desa Mulyasejati, Kabupaten Karawang. SD ini tidak dilengkapi listrik dan hanya terdiri dari tiga bilik.Foto: CNN Indonesia/Galih Gumelar
Suasana sekolah SD Mulyasejati IV, dusun Sukamulya, Desa Mulyasejati, Kabupaten Karawang. SD ini tidak dilengkapi listrik dan hanya terdiri dari tiga bilik.

Atim berharap, listrik bisa segera masuk ke dusun Sukamulya. Apalagi, saat ini, di dekat rumahnya akan dibangun jalur rel kereta cepat Jakarta-Bandung. Selain itu, dusunnya pun telah ditetapkan pemerintah setempat sebagai cagar budaya lokal.

"Kalau semua proyek-proyek itu telah terealisasi, kami harap masyarakat setempat bisa mendapatkan manfaatnya. Sebab, mau ditaruh di mana muka pemerintah jika warganya tak dapat listrik, tapi proyek-proyek yang ada di sekitarnya malah beroperasi lancar?" jelas pria yang dulunya mengaku pernah berusaha warnet ini.

Sebetulnya, Dusun Sukamulya bukanlah satu-satunya dusun yang masih belum mendapatkan listrik di Jawa Barat. Menurut data PT PLN (Persero), saat ini, ada sekitar 1.000 dusun lainnya di Jawa Barat yang mengalami nasib serupa.

Sayang, hal ini kontradiktif dengan data ketenagalistrikan Jawa Barat yang saat ini memiliki rasio elektrifikasi mencapai 98 persen dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit yang paling rendah di Indonesia, yakni US$0,05 per Kilowatt-Hour (KWh).

General Manager PLN Distribusi Jawa Barat Iwan Purwana menjelaskan, perusahaannya memang telah berupaya untuk melistriki dusun-dusun tersebut sedari dulu. Sayang, upaya itu harus terkendala logistik yang berat, mengingat sebagian besar dusun-dusun ini berada di wilayah dataran tinggi dengan kondisi jalan yang rusak dan cukup curam untuk dilalui.

Selain itu, dusun-dusun ini juga tersebar secara sporadis, sehingga menyulitkan PLN untuk melakukan pendataan. Terlebih, setiap dusun mungkin hanya didiami oleh 10 hingga 20 KK saja.

"Lebih banyak problemnya di daerah jangkauan, karena agak jauh. Saya beri contoh di Cianjur, di mana truk tidak bisa masuk. Padahal, truk diperlukan untuk mengangkut beton sebagai fasilitas jaringan. Bisa dibilang, menarik jaringan ke dusun-dusun ini tiga kali lipat lebih berat dibanding di kota-kota pada umumnya. Tetapi, meski dusun-dusun masih ada yang belum terlistriki, kami pastikan pusat desa sudah teraliri listrik," terang Iwan.

Meski berat, PLN tetap berupaya menyambung listrik ke tingkat dusun. Di tahun ini, PLN bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana untuk melistriki 500 dusun, atau 26.142 warga dengan total dana Rp168 miliar. Perusahaan setrum pelat merah itu juga berharap bisa melistriki seluruh dusun di tahun 2018 mendatang, sesuai keinginan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

"Sambungan listrik bagi masyarakat kurang mampu ini gratis, karena sudah didata oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Artinya, mereka berhak mendapat subsidi dan mendapat sambungan listrik rumah tangga 450 Volt-Ampere (VA). Biaya penyambungan PLN ditanggung provinsi, biaya instalasi pun digratiskan provinsi," tegas dia.

Namun, ia sendiri tidak ingat apakah dusun Sukamulya masuk ke dalam daftar 500 dusun yang sedianya mendapatkan listrik di tahun ini. Meski begitu, ia ingat bahwa PLN pernah melakukan survei ke lokasi yang mirip dengan tempat tinggal Atim belakangan ini.

"Kami kemarin sudah ke dusun yang dikelilingi hutan jati dan berniat untuk membangun jaringan di sana. Tapi karena hutan jati ini daerah Perhutani, kami tentu harus meminta izin terlebih dulu. Harus koordinasi agar langkah yang kami lakukan ini tidak menyalahi ketentuan yang berlaku," paparnya.

Memang, hidup di dusun penuh dengan keterbatasan. Listrik hingga jalan memang tidak pernah dinikmati oleh mereka. Meski begitu, Atim tetap optimistis terhadap masa depan Indonesia, sehingga ia rela meninggalkan tempat tinggalnya dan bermukim di dusun Sukamulya.

Selepas mengganti bendera merah putih di tiang bendera, ia pun duduk sejenak di beranda SD Mulyasejati IV. Sembari mengaso, ia menyampaikan harapan bahwa anak didiknya kelak bisa berkontribusi bagi Indonesia. Upaya ini bisa maksimal asal pemerintah juga bisa memberi sarana dan prasarana pendidikan yang mumpuni bagi anak-anak dusun tersebut.

"Bendera itu perlu diganti karena sudah terkoyak, sehingga harus diganti dengan bendera yang paling bagus dan paling bersih. Ini juga merupakan pertanda dari kami, bahwa kami harus memberikan yang bagus-bagus untuk NKRI," pungkas Atim, seraya memandang sang merah putih yang berkibar di ujung tiang bendera itu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER