Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintahan Joko Widodo telah memaparkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Pelaku pasar dan ekonom, yang masih meraba kualitas anggaran tahun depan, masih menilai suku bunga acuan atau 7 Day Reverse Repo (7DRR) Rate akan parkir di angka yang sama dalam 10 bulan terakhir.
Sejak Oktober 2016 lalu, Bank Indonesia (BI) menahan 7DRR Rate di level 4,75 persen. Para ekonom pun melihat harapan perubahan suku bunga acuan sangat tipis dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada sore ini.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara melihat, potensi penahanan 7DRR Rate lebih besar lantaran masih ada ketidakpastian kenaikan suku bunga dari Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"The Fed masih terbelah, antara segera menaikkan Fed Rate atau menunda karena datanya masih bervariasi," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Senin (21/8).
Kemudian, ada pula kekhawatiran terhadap konflik geopolitik antara AS dengan Korea Utara, di mana ketegangan dua negara itu telah membuat bursa saham Asia ditutup menurun. Selain itu, bisa pula memicu arus kas keluar (capital outflow).
Meski dari sisi ekonomi domestik, ada dua indikator yang justru memberi ruang penurunan suku bunga.
Pertama, inflasi yang mulai stabil di angka 2,6 persen secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) pada Januari-Juli 2017. Kedua, kurs rupiah yang sedikit tertekan, namun masih batas wajar di kisaran Rp13.351 per dolar AS.
Kendati begitu, bila BI tetap melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan 7DRR Rate, ia mengatakan, BI perlu kembali menurunkan suku bunga pada tiga sampai lima bulan ke depan.
"Jadi, diturunkan 25 basis poin secara gradual dalam tiga sampai lima bulan ke depan," kata Bhima.
Sebab, bila BI menurunkan suku bunga satu kali di bulan ini, lalu kembali naik di bulan-bulan selanjutnya justru diperkirakan tak akan memberi dampak pada perekonomian.
Selain itu, penurunan suku bunga BI perlu ditunjang oleh pelonggaran kebijakan lain agar bisa memicu gairah kredit perusahaan. "Jadi, ada beberapa skenario pelonggaran," imbuhnya.
 Aktivitas perbankan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pertama, turut menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) yang saat ini wajib dipenuhi secara harian sebesar 5,0 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah dan sebesar 1,5 persen dari DPK dalam rupiah selama periode dua minggu.
"GWM pertimbangannya untuk memacu pertumbuhan kredit dari sisi penawaran," terangnya.
Sebab, beberapa bank memiliki LDR yang tinggi di atas 90 persen, terutama bank BUKU satu dan dua. Sehingga pelonggaran GWM diharapkan membuat bank punya kecukupan likuiditas untuk mendorong kredit.
Kedua, menaikkan rasio pinjaman (Loan to Value/LTV) menjadi 90 persen sampai 95 persen, sehingga uang muka (down payment/DP) bisa diturunkan atau jangka waktu kredit bisa diperpanjang.
Hal ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan kredit dari sisi permintaan, khususnya bagi kredit sektor properti dan kendaraan bermotor.
"Dengan DP kredit yang lebih ringan, pertumbuhan kredit dua sektor yang lesu tersebut dapat terdongkrak," jelasnya.
Stimulus di Sektor LainSenada, ekonom Samuel Aset Manajemen (SAM) Lana Soelistianingsih melihat kecenderungan BI untuk menahan suku bunga acuan meski inflasi stabil memberi ruang penurunan. Sebab, ia melihat dampak permintaan kredit tak serta merta bisa didapat dalam satu kali penurunan suku bunga acuan.
"Di sisi lain, memang perusahaan tidak menambah kredit karena tengah menahan dan melihat risiko dari luar negeri," kata Lana.
Selain itu, masih ada keterbatasan pemilikan kredit bagi masyarakat yang belum luas, seperti halnya negara-negara lain, sehingga begitu suku bunga acuan diturunkan tidak langsung bisa merangsang pertumbuhan kredit.
Namun, Lana melihat, pelonggaran kebijakan BI bisa dilakukan dari sisi makroprudensial, yaitu dengan menaikkan impor sehingga memberi stimulus pada produksi industri.
Selain itu, dapat didukung pula dengan menaikkan LTV guna mendongkrak Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"FLPP hanya bisa untuk beli rumah ke satu. Jadi, kalau ada pelonggaran bisa mendorong permintaan ke sektor properti," imbuhnya.