Jakarta, CNN Indonesia -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengungkap, perubahan kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah produksi rokok berpotensi membuat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) menguap sekitar Rp495 miliar dari setiap pabrik.
Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo mengatakan, potensi hilangnya penerimaan cukai terjadi lantaran pemerintah mengubah batas produksi rokok dari semula dua miliar batang menjadi tiga miliar batang rokok.
Dulu, pabrik yang mampu memproduksi minimal dua miliar batang rokok diberi insentif sehingga penerimaan CHT bisa mencapai sekitar Rp1,59 triliun dengan asumsi tarif pita cukai Rp530 per batang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekarang, pabrik yang diberi insentif justru yang bisa memproduksi sebanyak tiga miliar batang. Padahal, tarif cukai yang dipungut lebih kecil, yaitu hanya Rp365 per batang, sehingga penerimaan hanya Rp1,09 triliun.
"Artinya, ada potensi penerimaan negara yang hilang sebesar Rp495 miliar per pabrik," ujarnya di kawasan Cikini, Selasa (22/8).
Di samping itu, dari tahun ke tahun, potensi penerimaan cukai juga terus berkurang karena banyak pabrik yang gulung tikar dalam beberapa tahun terakhir.
"Dari dua ribu pabrikan rokok, kini tinggal 700 pabrikan dan ini tidak terekspos," tutur Yustinus.
Selain itu, pemerintah juga memberlakukan pungutan tarif cukai yang berbeda untuk tiap kelompok industri rokok.
Misalnya, yang tertinggi Sigaret Putih Mesin (SPM) mencapai 13,46 persen dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) tak dipungut cukai. Meskipun, dari tangan lima raksasa penghasil rokok saja, pendapatannya bisa setara Rp2 triliun per tahun.
Terakhir, potensi penerimaan di tahun ini juga bisa semakin berkurang lantaran pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penundaan Pembayaran Cukai untuk Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.
Dalam PMK tersebut, pemerintah menagih pembayaran cukai 12 bulan ditambah dua bulan pada tahun lalu dan akan dikembalikan ke industri dengan tidak memungut cukai dari setengah bulan di setiap tahun dalam empat tahun ke depan.
"Maka, sebenarnya di 2014, penerimaan (CHT) hanya Rp114 triliun karena hanya 11,5 bulan, bukan 12 bulan penuh," terang Yustinus.
Adapun, tahun ini, pemerintah memasang target penerimaan cukai bisa menembus Rp149,8 triliun. Sedangkan, di tahun depan, diharapkan mencapai Rp155,4 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2018.
Perbaiki KebijakanDengan potensi kehilangan penerimaan CHT tersebut, Yustinus menyarankan, pemerintah untuk memperbaiki kebijakan pungutan cukai dengan administrasi yang lebih sederhana dan tetap memperhatikan insentif bagi industri rokok kecil.
Untuk jangka pendek, yaitu dengan mengurangi lapisan tarif rokok menjadi sembilan lapis dengan menghilangkan lapisan golongan IIB Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan golongan IIB SKT.
"Lalu, menggabungkan kapasitas produksi rokok SKM dan SPM. Jika produksi SKM dan SPM satu perusahaan sudah melewati tiga miliar batang, maka perusahaan tersebut harus membayar tarif golongan I untuk masing-masing segmen," terang Yustinus.
Kemudian, untuk jangka menengah, perlu ada pengurangan lapisan tarif pada rokok SKT, yaitu dengan meleburkan golongan IA SKT dan golongan IB SKT dengan golongan IIIA dan IIIB SKT.
Sedangkan di jangka panjang, lapisan tarif rokok hanya terbagi atas mesin dan buatan tangan. "Diferensiasi ini dilakukan untuk mendorong penyerapan tenaga kerja, untuk melindungi industri kecil, dibuatkan lapisan rokok khusus untuk UMKM," pungkasnya.