Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan kredit perbankan dari kisaran 10 persen sampai 12 persen menjadi 8 persen sampai 10 persen hingga akhir tahun ini. Penurunan proyeksi pertumbuhan kredit perbankan ini tidak terlepas dari realisasinya sampai separuh tahun ini yang hanya berkisar tiga persen.
"Kami juga analisis perekonomian Indonesia dan perbankan yang masih konsolidasi," ujar Agus DW Martowardojo, Gubernur BI dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Selasa (22/8).
Menurut dia, konsolidasi perbankan terlihat dari kenaikan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) di angka tiga persen secara gross dan sebesar 1,4 persen secara netto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun NPL banyak mendapat pengaruh dari harga sejumlah komoditas yang terkoreksi di kuartal II 2017 lalu. Sehingga, ekspansi bisnis dan perbankan menjadi terbatas.
Melengkapi Agus, Deputi Gubernur Senior BI Perry Warjiyo menjelaskan, setidaknya ada beberapa hal yang memengaruhi keputusan BI tersebut.
Pertama, inflasi rendah, meski ada pukulan dari kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dalam enam bulan pertama tahun ini.
"Ini sejalan dengan kebijakan moneter ke depan yang sesuai dengan inflasi rendah," katanya.
Kedua, defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) diperkirakan terkendali di kisaran 1,5 persen sampai 2,0 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sampai akhir tahun. Sedangkan di tahun depan di angka 2,0 persen sampai 2,5 persen.
"Ini lebih rendah dibandingkan batas defisit aman bagi Indonesia sebesar 3,0 poersen dari PDB," imbuh Perry.
Ketiga, adanya penundaan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS). The Federal Reserve semula diperkirakan mengerek bunga acuan sebanyak dua kali sampai akhir tahun pada September dan Desember mendatang.
Namun, rupanya hanya sekali di Desember dengan probabilitas yang lebih rendah. Sehingga, tekanannya lebih rendah terhadap Indonesia dibandingkan sebelumnya.
"Ini mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi, kami tetap butuh koordinasi dengan pemerintah terkait kebijakan fiskal dan Otoritas Jasa Keuangan untuk penyaluran kredit perbankan," pungkas Perry.