Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan meninjau kembali rencana impor gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dari Singapura. Sebab, pemerintah masih mempertimbangkan harga jual LNG yang akan digunakan untuk pembangkit listrik itu.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, konsorsium pengekspor LNG pimpinan Keppel Corporation sudah menyambangi kantornya beberapa waktu lalu. Ia hanya mengatakan, tawaran tersebut sedang dievaluasi.
"Saya sudah panggil
company-company itu, saat ini kami sedang evaluasi," ujar Arcandra ditemui di Kementerian ESDM, Selasa malam (22/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, salah satu yang menjadi pertimbangan impor tersebut adalah masalah harga. Menurut Arcandra, konsorsium tersebut menawarkan harga regasifikasi dan transportasi LNG di angka US$3,8 per MMBTU hingga US$4 per MMBTU, dan belum memasukkan harga gas hulunya.
Dengan demikian, ia khawatir bahwa harga impor LNG yang diterima bisa lebih besar dari ketentuan yang ada saat ini. Menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017, harga gas LNG maksimal harus 14,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) di pembangkit listrik (
plant gate).
Dengan mengambil contoh ICP bulan Juli sebesar US$45,48 per barel, maka harga gas di
plant gate harus berada di angka US$6,59 per MMBTU. Melihat contoh tersebut, biaya regasifikasi dan transportasi yang ditawarkan perusahaan Singapura tercatat 57,66 persen hingga 60,69 persen dari harga gas maksimal yang diperbolehkan pemerintah.
"Semua hal-hal yang berkaitan tawaran impor harus hati-hati dievaluasi. Nah, US$3,8 per MMBTU hingga US$4 per MMBTU itu setahu saya baru regasifikasi dan transportasi. Kalau harga impornya mahal, maka nanti yang kena ya harga listrik ke bawah," ungkapnya.
Meski demikian, ia masih belum tahu apakah konsorsium Singapura itu juga akan ikut membangun pembangkit listrik di Indonesia. "Kalau itu nanti saja dibahasnya," paparnya.
Sehari sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, impor LNG dari Singapura dipengaruhi hubungan politik antara kedua negara. Maka dari itu, kesepakatan impor ini akan ditandatangani saat pertemuan antara Indonesia dan Singapura.
Pemerintah memiliki dua pilihan opsi untuk mendatangkan LNG dari Singapura. Yang pertama, adalah opsi pertukaran penggunaan LNG (swap), sementara satunya lagi adalah murni impor dari Singapura.
"Kalau mereka kasih harga yang menarik, kami pertimbangkan dong. Kan ujung-ujungnya ke harga jual masyarakat juga," terang Luhut.
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026, pembangkit listrik tenaga gas akan mengambil porsi 26,7 persen dari bauran energi (energy mix) di tahun 2026 sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026 mendatang.
Oleh karenanya, Indonesia membutuhkan gas sebanyak 1.193 Trilion British Thermal Unit (TBTU), atau tiga kali lipat dibanding tahun 2016 sebanyak 606,5 TBTU. Dari jumlah tersebut, sebanyak 851 TBTU, atau 71,33 persen dari kebutuhan gas bagi pembangkit akan disediakan dari LNG.
Belum Dapat KomitmenDi sisi lain, Direktur Gas PT Pertamina (Persero) Yenni Andayani menyebut bahwa perseroan masih harus mencari pembeli bagi 36 kargo LNG di tahun ini. Sebab, dari 164 kargo LNG yang diproduksi hingga akhir tahun, baru 138 kargo saja yang memiliki komitmen pembeli.
"Akhirnya 36 kargo ini kami lempar ke pasar spot, dilakukan tender.
Delivery mungkin baru bisa di akhir tahun nanti. Semua LNG ini dari produksi Badak NGL di Bontang," terangnya.
Hingga semester I tahun ini, penjualan LNG Pertamina tercatat 258,01 juta MMBTU atau turun 3,22 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 266,60 juta MMBTU.