ANALISIS

Mencerna Euforia 'Tunduknya' Freeport Usai Drama Panjang

CNN Indonesia
Rabu, 30 Agu 2017 12:35 WIB
Mendapatkan komitmen Freeport merupakan satu langkah yang positif. Namun, mengawal agar divestasi ini bisa diserap pemerintah merupakan tugas yang lebih berat.
PT Freeport Indonesia bersedia untuk melego 51 persen sahamnya kepada pemerintah setelah bertahun-tahun kukuh enggan melakukan divestasi. (Akun Facebook Freeport Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah pernyataan mengejutkan datang di akhir Agustus tahun ini. Tak disangka, PT Freeport Indonesia bersedia untuk melego 51 persen sahamnya kepada pemerintah setelah bertahun-tahun kukuh enggan melakukan divestasi.

"Kami telah setuju untuk meningkatkan kepemilikan pemerintah Indonesia dari saat ini 9,36 persen ke angka 51 persen seiring berjalannya waktu dan disertai kompensasi dalam bentuk harga pasar yang adil," ujar Chief Executive Officer (CEO) Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson di Jakarta baru-baru ini.

Ia mengungkapkan, langkah ini dilakukan perusahaan setelah Presiden Joko Widodo memberikan pandangannya ihwal keterbukaan investasi dengan tetap memperhatikan kedaulatan Indonesia. Freeport sendiri, lanjut Adkerson, memang berencana untuk menggelontorkan dana US$20 miliar untuk menggarap tambang Grasberg di masa depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi agar kami bisa investasi, kami harus mau untuk bekerja sama," tambahnya.

Wacana divestasi Freeport ini bukanlah barang baru. Kewajiban Freeport untuk divestasi termuat di dalam Kontrak Karya yang diteken tahun 1991 dan dipertegas kembali melalui Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Namun, meminta perusahaan asal AS itu untuk divestasi bukan perkara mudah. Sebab, berdasarkan pada KK, Indonesia harusnya sudah bisa mendapat 51 persen saham Freeport di tahun 2011 silam, atau 20 tahun setelah KK itu berlaku.

Apalagi, ketentuan ini diganti lagi ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, di mana Freeport diperkenankan divestasi 30 persen saja karena dianggap sebagai pertambangan bawah tanah. Indonesia harusnya sudah mendapat 20 persen saham Freeport di Oktober 2015 kemarin, namun nyatanya pemerintah hingga kini baru memiliki 9,36 persen saja.

Belakangan, pemerintah menegaskan lagi pelepasan saham Freeport menjadi 51 persen setelah pemerintah menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2014. Namun, Freeport sendiri hingga masih bersikukuh ingin divestasi sebesar 30 persen. Apalagi, kewajiban itu hanya diwajibkan kepada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan kepada Freeport yang masih berstatus KK.

Maka dari itu, setujunya perusahaan untuk menjual 51 persen saham kepada pemerintah sebenarnya sudah kemajuan tersendiri, meski keinginan ini baru sebatas komitmen. Untuk meyakinkan Freeport saja, kedua belah pihak harus melalui negosiasi yang melelahkan sejak Februari kemarin.

Namun, perjuangan pemerintah nampaknya masih belum selesai setelah menerima persetujuan dari Freeport.

Menteri ESDM Ignasius Jonan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport-McMoran Richard Adkerson berbincang sebelum memberikan keterangan di Kementerian ESDM. Menteri ESDM Ignasius Jonan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport-McMoran Richard Adkerson berbincang sebelum memberikan keterangan di Kementerian ESDM. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Satya Widya Yudha menyambut positif hasil negosiasi antara pemerintah dan Freeport. Menurutnya, ini membuktikan bahwa pemerintah masih bisa memiliki posisi tawar yang cukup baik.

"Kami mengapresiasi hasil kesepakatan itu. Pemerintah tetap harus tegas dan Freeport harus tunduk atas hasil renegosiasi tersebut. Kini saatnya menaikkan posisi tawar Indonesia terhadap Freeport," tegas Satya.

Namun, kesempatan terbuka ini seharusnya juga diimbangi dengan kesiapan finansial Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar peluang ini tidak menjadi sia-sia. Menurutnya, hal ini juga akan serta merta memupus anggapan masyarakat bahwa pengelolaan mineral di Indonesia masih "dikuasai asing".

Di samping itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa hasil negosiasi ini, termasuk divestasi, tidak berubah lagi di kemudian hari. Maka dari itu, ia berharap pemerintah jangan dulu memberikan kepastian perpanjangan operasional 2x10 tahun sebelum ada komitmen pasti dari Freeport ihwal negosiasi ini.

"Tidak serta merta perpanjangan diberikan pemerintah begitu saja, asalkan Freeport benar-benar berpegang pada komitmennya terhadap poin-poin hasil final renegosiasi dengan pemerintah," imbuhnya.

Di sisi lain, pengamat energi dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi berujar, pemerintah sudah terlambat untuk mendapatkan keuntungan dari divestasi mengingat adanya opportunity loss selama enam tahun. Sebab, Freeport harusnya sudah menyerahkan 51 persen sahamnya tahun 2011 lalu. Namun, hingga tahun ini belum ada kemajuan yang berarti.

Di samping itu, ia juga menganggap bahwa pembelian saham divestasi oleh pemerintah ini merupakan langkah percuma karena masa KK Freeport yang berakhir empat tahun kemudian. Sebab, ketika KK berakhir, lahan bekas tambang Freeport akan kembali lagi ke Indonesia sesuai UU Minerba.

"Pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya Kontrak Karya (KK) merupakan kebijakan yang sesungguhnya merugikan bagi Indonesia karena tanpa membeli saham divestasi pun maka pada tahun 2021 atau setelah KK berakhir maka wilayah eks PT Freeport menjadi milik Pemerintah Indonesia," ujarnya.

Belum lepas masalah divestasi, ia juga mengkritisi pemberian status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dijanjikan pemerintah karena bertentangan dengan ketentuan yang ada di UU Minerba. Sebab di dalam beleid tersebut, status IUPK dapat diberikan setelah melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN).

Di samping itu, ia juga sangsi bahwa pembangunan smelter ini bisa berjalan karena kewajiban ini sendiri sudah direncanakan sudah lama namun urung terlaksana. Dengan banyaknya masalah yang perlu diselesaikan Indonesia selain divestasi, ia menilai negosiasi ini tak memberikan keuntungan apa-apa bagi Indonesia.

"Hasil perundingan ini malah bentuk mengukuhan kembali Freeport untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia yang kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia sangat rendah," katanya.

Terlepas dari kemajuan langkah pemerintah, pengawasan mengenai proses divestasi ini memang sepatutnya diperketat. Selain itu, seharusnya sudah ada kesepahaman bersama mengenai valuasi nilai saham yang dilepas.


Tentu saja, Indonesia tidak ingin lagi ada perselisihan ihwal nilai divestasi seperti yang terjadi tahun lalu, di mana pemerintah ingin valuasi didasarkan pada biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan sebelumnya (replacement cost), sementara Freeport ingin agar investasi di masa depan dimasukkan ke dalam valuasi divestasi.

Untuk itu, Adkerson sudah mewanti pemerintah bahwa masih terdapat langkah yang panjang sebelum benar-benar melakukan divestasi. "Semua ini masih subject to approval, tapi kami bekerjasama dengan pemerintah untuk mencapai kesepakatan bersama," tambahnya.

Sementara itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga berjanji bahwa pemerintah akan segera menyusun detail mengenai divestasi, khususnya masalah periodisasi dan pihak pembeli divestasi tersebut. Adapun, masalah tersebut diharapkan rampung pada pekan ini sesuai arahan Jokowi.

"Mumpung CEO Freeport ada di sini, masalah timing dan lainnya diharapkan selesai pekan ini," ungkapnya.

Namun, perlu diingat terdapat hal lain yang sebaiknya dicermati dalam euforia 'tunduknya' Freeport kepada Pemerintah Indonesia.

Hal itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau PP No. 1 tahun 2017.

Dalam aturan yang diteken langsung oleh Presiden Jokowi tersebut, disebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK untuk perusahaan asing wajib melakukan divestasi setelah lima tahun berproduksi.

Dalam hal ini, pelepasan saham dipatok paling sedikit mencapai 51 persen pada tahun kesepuluh usai produksi. Di aturan tersebut dijelaskan tahapan divestasi yakni sebesar 20 persen di tahun keenam, 30 persen di tahun ketujuh, 37 persen di tahun kedelapan, 44 persen di tahun kesembilan, dan 51 persen pada tahun kesepuluh.

Jika mengacu aturan itu, dan IUPK Freeport dimulai pada 2017, maka pelepasan saham kepada Pemerintah Indonesia sebesar 51 persen baru terwujud di tahun 2027.

Lantas, apakah divestasi itu sesuai dan layak bagi keuntungan negara? Padahal Freeport telah menancapkan kukunya sejak 1967.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER