Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mengaku tak ingin kurs rupiah terlalu kuat terhadap dolar Amerika Serikat. Pasalnya, keperkasaan rupiah bakal berdampak pada ekspor Indonesia.
"Nilai tukar (rupiah) sekarang ini agak sedikit menguat, tetapi kami sebetulnya tidak ingin juga terlalu kuat," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Rabu (13/9).
Berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR) pada awal pekan ini, rupiah sempat menyentuh level Rp13.154 per dolar AS atau menguat 1,4 persen dari pekan sebelumnya. Hari ini, rupiah terdorong melemah ke level Rp13.209 per dolar AS. Pada periode yang sama tahun lalu, rupiah bertengger di kisaran Rp13.350 hingga Rp13.400 per dolar AS.
Darmin mengungkapkan, menguatnya nilai tukar bakal mengurangi penerimaan ekspor. Namun, menurut Darmin, level rupiah saat ini masih belum mengancam sektor perdagangan internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, sejumlah ekonom juga menilai penguatan rupiah akhir-akhir ini masih wajar dan hanya akan terjadi secara temporer.
Ke depan, lanjut Darmin, potensi penguatan rupiah masih ada mengingat kurs rupiah masih berada di bawah nilai fundamentalnya atau undervalue.
Sebagai informasi, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017, pemerintah mengasumsikan kurs rupiah di level Rp13.400 per dolar AS. Kemudian, dalam pembahasan asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018, pemerintah dan Komisi XI DPR sepakat untuk merevisi asumsi nilai tukar rupiah dari semula Rp13.500 menjadi Rp13.400 per dolar AS.