Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum bisa menjamin revisi aturan terkait pungutan OJK terhadap perusahaan terbuka (emiten) dapat rampung tahun ini. Kini, pembahasan masih terus dilakukan antara OJK dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan, jika melihat aturan yang ada saat ini dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), maka wewenang tertinggi dalam proses revisi berada di Kemenkeu.
Hanya saja, sebagai regulator tentu OJK diikutsertakan dalam penyusunan draf dan pengambilan keputusan. Aturan pungutan itu sendiri tertuang dalam PP nomor 11 tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK dan dikeluarkan pada 12 Februari 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam aturan itu, emiten bank umum dikenakan biaya pungutan 0,045 persen dari jumlah aset, kemudian emiten biasa dipungut 0,03 persen dari nilai emisi efek.
"Apakah nanti pungutan besaran kepada pihak-pihak itu akan direvisi? Itu nanti kami lihat, usulan kan sudah ada, tapi belum selesai pembahasannya," papar Nurhaida, Selasa malam (19/9).
Ia pun belum dapat memastikan apakah biaya yang dikenakan saat ini nantinya akan diturunkan, atau OJK memiliki skema penghitungan baru dalam pungutan biaya tersebut.
"Saya tidak mau mengatakan apa-apa dulu, nanti ambil kalau sudah selesai saja ya," ucapnya.
Nurhaida pun mengakui proses revisi aturan ini terbilang lama. Hal ini disebabkan, draf revisi yang tengah dirancang bukan hanya menyangkut satu atau dua poin saja, melainkan terkait banyak hal.
"Ada poin lain dan bukan hanya masalah pungutan, tapi juga ada isu-isu lain. Pasal-pasal lain yang juga akan kami sesuaikan. Jadi memang butuh waktu pembahasan," jelas Nurhaida.
Sebelumnya, OJK melalui masa kepemimpinan Ketua Dewan Komisioner periode 2012-2017 Muliaman Hadad mengatakan, OJK akan membahas perubahan aturan pungutan kepada perusahaan.
Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franky Welirang pun telah berkali-kali menggaungkan kritiknya terkait iuran tahunan yang diberlakukan oleh OJK. Ia khawatir, aturan itu menjadi beban bagi perusahaan, khususnya non bank untuk melakukan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO).
"Mereka (emiten) sudah terbuka, telanjang, tapi masih saja dibebani dengan adanya iuran-iuran itu," kata Franky.