ANALISIS

Jurus Pamungkas Atur Napas Keuangan PLN

CNN Indonesia
Kamis, 28 Sep 2017 18:12 WIB
Jurus pamungkas menyehatkan kondisi keuangan PLN bukan hanya dengan menambah investasi dan pinjaman dana, tetapi juga diskon penugasan dari pemerintah.
Jurus pamungkas menyehatkan kondisi keuangan PLN bukan hanya dengan menambah investasi dan pinjaman dana, tetapi juga diskon penugasan dari pemerintah. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar).
Jakarta, CNN Indonesia -- Efek domino dari risiko keuangan yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bisa saja menjadi penyebab utama Menteri Keuangan Sri Mulyani melayangkan surat 'cinta' kepada dua kementerian sekaligus.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendapat desakan untuk menjaga rasio utang terhadap perusahaan strategis tersebut. Pasalnya, kondisi keuangan PLN bukan tanggung jawab perusahaan sendiri, tetapi juga beban baru bagi negara di masa mendatang.

Maklum, perusahaan setrum pelat merah itu masih menjadi asuhan pemerintah. Jika terjadi kerugian atas usahanya, maka pemerintah pula yang harus pasang badan mengatasi persoalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bayangkan saja, PLN menyumbangkan utang hingga 10,27 persen atau sekitar Rp420,51 triliun terhadap total utang BUMN yang sebesar Rp4.091 triliun sampai paruh pertama 2017. Utang PLN terdiri dari, utang jangka panjang setelah dikurangi bagian jatuh tempo dalam satu tahun Rp299,36 triliun. Sisanya, Rp121,15 triliun merupakan utang jangka pendek.

Tak hanya harus memikirkan utang PLN dan seluruh perusahaan milik negara. Sri Mulyani juga harus menguras tenaga untuk menentukan strategi pengelolaan utang negara yang bernilai fantastis.

Berdasarkan rekam utang negara, tanggungan utang pemerintah mencapai Rp3.825 triliun per semester I 2017. Jika ditotal dengan beban BUMN, utang keseluruhan mencapai Rp7.916 triliun atau sekitar 63,8 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Kendati berlumur utang, Direktur Utama PLN Sofyan Basir masih mengklaim bahwa kondisi keuangan dan beban utangnya baik-baik saja. Bahkan, ia menyatakan, rasio kemampuan perusahaan memenuhi beban tetap (Debt Service Coverage Ratio/DSCR) PLN yang sebesar 1,5 kali merupakan yang wajar dalam bisnis korporasi.

"Saya kaget, kenapa orang kaget? Karena, sebetulnya, tidak ada yang perlu dikagetkan. Itu hal yang sangat biasa," ucap Sofyan, kemarin.

Ia juga mengklaim, PLN masih punya plafon pinjaman hingga Rp30 triliun yang dapat digunakan untuk membayar utang. Belum lagi, ada asupan subsidi tagihan tahun tertunda sebelumnya sekitar Rp18 triliun dan sekitar Rp51 triliun tahun ini yang bisa menjadi amunisi untuk membayar utang perusahaan.


Sementara itu, Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto menuturkan, selama ini perusahaan sudah tepat waktu dalam membayar kewajiban utangnya karena memang memiliki dana.

Bahkan, PLN dianggap cukup visioner dalam memetakan rencana pembayaran utang jangka panjang hingga 30 tahun ke depan.

Dalam tiga tahun terakhir, lanjutnya, investasi yang berhasil diraup PLN mencapai Rp145 triliun. Nilai itu jauh lebih besar dibandingkan utang yang ditorehkan pada periode yang sama sebesar Rp58 triliun.

"Jadi, begitu kami punya utang, saat waktu jatuh temponya dan membayar bunganya, kami punya likuiditas rescue, kami jaga. Jadi, kekhawatiran gagal bayar itu tidak ada," tegas Sarwono.

Sayang, Sarwono enggan memberi proyeksi lebih rinci mengenai jurus-jurus lain yang dilakukan perusahaan untuk memangkas risiko keuangan.

Dalam kesempatan berbeda, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, perbankan pelat merah yang rajin memberi kredit ke PLN mengungkapkan, arus kredit antar kedua perusahaan masih sehat, baik kredit yang diberikan BRI maupun pengembalian utang oleh PLN.

"Selama ini kredit yang diberikan BRI kepada PLN berjalan lancar. Semua kewajiban pokok dan bunga dapat dipenuhi tepat waktu. Jatuh tempo tahunan sudah dicadangkan, aman," kata Direktur Korporasi BRI Mohammad Irfan.

Irfan enggan berkomentar lebih dalam terkait isu membengkaknya utang PLN dan risiko gagal bayar yang beredar.

Hal yang pasti, tegasnya, sejauh rekam jejak pengembalian kredit PLN masih baik dan dipercaya banyak perbankan lain, maka BRI akan tetap bersinergi sebagai sesama perusahaan milik negara.

"Kan banyak yang kasih kredit ke PLN, bukan hanya BRI," imbuhnya.


Diskon Penugasan Jadi Solusi

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara mengatakan, jurus pamungkas menyehatkan kondisi keuangan PLN bukan hanya pada penambahan investasi dan kredit, tetapi diskon penugasan dari pemerintah.

PLN dinilai akan sulit mendapatkan investasi asing karena kondisi ekonomi global yang masih berisiko, terutama rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.

"Dari The Fed, ada tekanan pada rupiah karena PLN sendiri juga banyak menerbitkan global bond (obligasi global). Ini bisa membuat utang membengkak pada 2018," kata Bhima.

Risiko juga muncul dari sisi kenaikan harga minyak mentah dunia yang secara rata-rata telah mencapai kisaran US$52 per barel. Sedangkan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Palm Oils/ICP) hanya US$48 per barel, begitu pula pada tahun depan.

"Jadi, ini berat untuk PLN dan kondisi global seperti ini juga membuat investor asing ragu masuk ke Indonesia. Mereka masih tunggu sampai 2020," imbuhnya.

Seperti diketahui, realisasi investasi asing yang hanya tumbuh sekitar lima persen pada semester I 2017. Sedangkan investasi dalam negeri tumbuh sekitar 26 persen.

Meski pertumbuhan investasi domestik signifikan, PLN sulit mendapat angin segar dari pebisnis nasional. Pasalnya, kondisi politik mendorong pengusaha lebih berhati-hati menyalurkan investasi dan menjalankan aksi korporasi.


Pada akhirnya, PLN juga tak bisa terus menerus mengharapkan sokongan perbankan pelat merah, apalagi anggaran pemerintah dengan ruang fiskal yang terbilang sempit.

"Perbankan kan juga pilih-pilih menyalurkan kreditnya. Lagipula sekarang masih banyak yang konsolidasi atas kredit macet," terangnya.

Cara paling realistis, menurut dia, ialah meninjau kembali prioritas sebanyak 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan kemampuan anggaran dan pelaksanaan yang paling realistis.

Hal itu terutama terkait target pembangunan pembangkit listrik berkapasitas hingga 35 ribu megawatt (MW) tersebut.

"Jadi, jangan ngebut dengan asal-asalan, lihat kapasitasnya," tekannya.

Solusi itu setidaknya bisa memberi ruang bagi PLN untuk berbenah diri dan memoles kembali neraca keuangannya. Ketika siap kembali, pemerintah boleh saja memberi penugasan dengan garapan proyek-proyek raksasa. Syaratnya, tentu realistis.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER