Penolakan Freeport dan Drama yang Tak Kunjung Usai

Dinda Audriene Muthmainah, Yuliyanna Fauzi, & Galih Gumelar | CNN Indonesia
Jumat, 29 Sep 2017 21:26 WIB
Perundingan antara Freeport dan pemerintah, salah satunya terkait pelepasan saham, berpeluang diperpanjang dan bisa berujung ke meja arbitrase.
Perundingan antara Freeport dan pemerintah, salah satunya terkait pelepasan saham, berpeluang diperpanjang dan bisa berujung ke meja arbitrase.(Dok. PT Freeport Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, ada kemungkinan PT Freeport Indonesia meminta tambahan waktu perundingan dengan pemerintah. Perundingan, terkait hak dan kewajiban Freeport pasca statusnya diwajibkan berubah dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), termasuk divestasi saham.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, belum adanya kesepakatan perpajakan dan dukungan regulasi fiskal dari Kementerian Keuangan menjadi alasan perpanjangan tersebut. Kendati begitu, kerangka besar kesepakatan pemerintah dan Freeport tidak berubah sejak Agustus kemarin.

Padahal, pada awalnya, perundingan antara kedua belah pihak seharusnya bisa selesai Oktober mendatang. “Kemungkinan Freeport meminta tambahan waktu untuk melanjutkan pembahasan detail,” terang Dadan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (29/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, ia mengelak jika perusahaan asal Amerika Serikat tersebut sudah menolak penawaran divestasi yang ditawarkan pemerintah. Sebab, sampai saat ini, pembicaraan tersebut masih dibahas oleh Kemenkeu dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ini sekaligus merespons beredarnya surat Freeport-McMoran Copper and Gold inc yang menyebut bahwa skema divestasi pemerintah ditolak lantaran Freeport tetap kukuh bahwa valuasinya harus berdasarkan kegiatan operasional hingga 2041. Selain itu, Freeport pun tak ingin dipaksa untuk segera melakukan divestasi tahun 2018 mendatang.

“Belum ada kesimpulan tidak setuju terkait perhitungan divestasi, yang ada adalah pembicaraan hal itu dilakukan sangat intensif oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN,” tambahnya.

Adapun, Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar menolak mengomentari surat penolakan Freeport. "Hari ini kita bicara minyak dan gas (migas), nanti itu episode selanjutnya," ungkap Arcandra.

Sebelumnya, berdasarkan perundingan dengan pemerintah, Freeport sepakat untuk melakukan divestasi sebesar 51 persen kepada pemerintah Indonesia dengan periodisasi dan harga divestasi yang masih ditentukan kemudian. Ini merupakan bagian dari poin kesepakatan Freeport selain kesepakatan pembangunan smelter, perpanjangan operasi sepanjang 2x10 tahun, dan peraturan fiskal yang jelas bagi operasional Freeport.

Hal itu merupakan hasil negosiasi kedua pihak pasca pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang mengharuskan perusahaan berbentuk Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK dan wajib melakukan divestasi 51 persen.

Bisa Berujung Arbitrase

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara menilai surat penolakan Freeport tersebut merupakan bukti perusahaan tambang itu hanya bermain-main dengan pemerintah melalui skenario negosiasi enam bulan belakangan.

Menteri ESDM Ignasius Jonan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport-McMoran Richard Adkerson saat baru saja menyepakati perpanjangan kontrak dan divestasi saham FreeportMenteri ESDM Ignasius Jonan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport-McMoran Richard Adkerson saat baru saja menyepakati perpanjangan kontrak dan divestasi saham Freeport  (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Ia melanjutkan, ketidaksepakatan atas proposal divestasi pemerintah di penghujung September ini memberi indikasi bahwa selama ini Freeport hanya menarik ulur. Namun, ujungnya ingin membawa penyelesaiannya ke meja pengadilan internasional atau arbitrase.

"Hebat permainan Freeport. Kita jadi bahan mainan. Selama enam bulan tidak ada kesepakatan. Ini masih mungkin lanjut arbitrase kalau perbedaannya ekstrim begitu," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com.

Adapun indikasi tarik ulur dan berujung pada arbitrase itu, menurut Bhima terlihat jelas lantaran perubahan sudut pandang Freeport yang begitu ekstrim.

Pertama, persoalan nilai divestasi saham yang menurut Freeport harus didasari pada nilai investasi sampai 2041 sesuai dengan Kontrak Karya (KK) jilid II. "Artinya valuasi atau nilai saham yang dilepas ke pemerintah angkanya bisa dua kali lipat lebih mahal," terangnya.

Kedua, persoalan mekanisme pembelian saham ke pemerintah menurut pihak Freeport harus dilakukan melalui skema penawaran saham ke publik (Initial Public Offering/IPO). Menurutnya, hal ini jelas merugikan pemerintah lantaran proses IPO rentan membuat harga saham terlampau tinggi.

"Risiko lainnya ketika harga mahal, kapasitas keuangan pemerintah menjadi terbatas, dan 51 persen saham justru jatuh ke pihak asing dengan kedok pembelian melalui tangan swasta nasional," tekannya.

Ketiga, permasalahan berikutnya meskipun skema divestasi dilakukan dan sebagian saham dilepas ke pasar, namun yang jadi catatan penting adalah Freeport menuntut agar pengelolaan operasional maupun tata kelola internal harus berada dibawah kendali Freeport, bukan pemerintah Indonesia.

"Artinya rencana divestasi menciptakan kepemilikan semu pemerintah. Ini memperkuat status quo Freeport selama ini," jelasnya.

Sementara, bila Freeport membawa permasalahan ini ke arbitrase, peluang pemerintah untuk mendapatkan divestasi akan hilang. Sebab, Freeport punya kekuatan dari ketentuan KK. "Kansnya kecil untuk menang karena Freeport pakai KK," imbuhnya. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER