Jakarta, CNN Indonesia -- PT PLN (Persero) mengatakan, kondisi keuangan perusahaan terbilang masih mumpuni, bahkan untuk menambah kredit. Hal itu merupakan jawaban dari beredarnya surat Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengkhawatirkan kondisi keuangan PLN.
Direktur Utama PLN Sofyan Basyir menjelaskan, mengacu pada total aset dan liablitas perusahaan saat ini, batas maksimum pinjaman bisa lebih tinggi dibanding realisasi utang saat ini.
Mantan Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) ini berkisah, aset perusahaan sudah didongkrak melalui revaluasi aset, tepat setelah program 35 ribu Megawatt (MW) ini dicanangkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya, ekuitas PLN naik sebesar Rp900 triliun, dan digadang sebagai kenaikan ekuitas korporasi terbesar di Indonesia. Hal itu pun membuat aset PLN per semester I kemarin tercatat di angka Rp1.302 triliun.
Dengan aset yang besar, Sofyan menilai, PLN masih bisa melakukan pembiayaan maksimal sebesar Rp2 ribu triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding posisi liabilitas perusahaan hingga paruh tahun ekmarin di angka Rp420,5 triliun.
"Dengan syarat perjanjian utang (
covenant) berbentuk rasio utang terhadap ekuitas (
debt to equity ratio) maksimal 3 kali, kami sebetulnya bisa memaksimalkan utang hingga Rp2 ribu triliun. Saya paham betul, karena saya sudah 34 tahun bergerak di bidang itu (keuangan)," jelas Sofyan, Kamis (28/9).
Selain itu, Sofyan juga yakin bahwa utang masih bisa diatur karena perusahaan mengaku tak pernah menyalahi ketentuan covenant yang diajukan oleh lembaga pembiayaan internasional.
Ia mencontohkan, PLN selama ini telah memenuhi
covenant Bank Dunia, yang meminta
covenant berbentuk rasio pendapatan terhadap utang (
debt to service ratio) yang ada di angka 1,5 kali.
 Warga memeriksa meteran listrik. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sekali pun
covenant itu tidak terpenuhi, Sofyan menjamin bahwa cicilan utang beserta bunganya masih tetap dibayarkan secara rutin. Oleh karenanya, ia menganggap bahwa sampai saat ini keuangannya tidak dalam posisi yang mengkhawatirkan.
"Saya ini (mantan) bankir, tahu akan hak dan kewajiban, dan syarat ke ke nasabah ini biasa saja. Kami tidak pernah menyalahi itu. Kalau pun suatu saat debt to service ratio tidak 1,5 kali, namun cicilan tetap dibayar dan covenant akan kami jaga 1,5 kali supaya tidak default," jelas Sofyan.
Maka dari itu, ia merasa heran jika saat ini kondisi keuangan PLN menjadi sorotan.
Catatan Tiap TahunMenurut Sofyan, sebetulnya catatan dari Kementerian Keuangan ini selalu disampaikan tiap tahun. Hanya saja, di tahun ini, surat dari Kemenkeu bocor ke masyarakat sehingga publik memiliki persepsi berbeda terkait keuangan PLN.
"Kebetulan karena Menteri Keuangan tahu ada tarif yang tidak boleh naik, maka ia minta kalau bisa tidak naik ada kenaikan harga energi primer. Beliau mengingatkan PLN untuk hati-hati, jaga
covenant-nya dari
lender internasional. Itu sebetulnya, tidak ada sesuatu yang dikhawatirkan," ungkap Sri Mulyani.
Sebelumnya, Sri Mulyani berpandangan bahwa saat ini kinerja keuangan PLN tengah surut lantaran penjualan listrik tak mencapai target dan diiringi dengan kebijakan pemerintah yang tak ingin harga setrum berubah hingga akhir tahun nanti.
Akibatnya, ini tak bisa menunjang kas operasional perusahaan, yang ujungnya bisa berakibat pada kemampuan perusahaan untuk melunasi utang-utangnya.
Ujung-ujungnya, dalam tiga tahun terakhir, instansinya harus mengajukan permintaan waiver kepada peminjam PLN sebagai dampak terlanggarnya kewajiban
covenant PLN demi menghindari gagal bayar.
Hal itu dinilai akan memberatkan kemampuan investasi PLN dalam menyelesaikan proyek 35 ribu Megawatt (MW). Jika dibiarkan terus, maka dinilai bisa membebani risiko fiskal di APBN, mengingat sebagian besar penjaminan pinjaman disediakan oleh negara.
Kekhawatiran itu dituangkan ke dalam surat nomor S-781/MK.08/2017 yang dilayangkan ke Menteri ESDM dan Menteri BUMN tertanggal 19 September 2017 kemarin.
Hingga semester I 2017, liabilitas atau kewajiban PLN tercatat di angka Rp420,15 triliun, di mana angka itu terdiri dari Rp299,3 triliun pinjaman jangka pendek dan Rp420,5 triliun pinjaman jangka panjang.