Jakarta, CNN Indonesia -- Tingkat okupansi properti sektor ritel di Jakarta mencapai titik terendah dalam satu dekade terakhir yakni di kisaran 83,8 persen pada kuartal III 2017. Angka itu turun 2,3 persen dari kuartal sebelumnya.
Hal tersebut disampaikan Lembaga konsultan properti Colliers International sebagai hasil laporan 'Jakarta Property Market' yang diterbitkan pada Selasa (3/10).
"Memang terjadi penurunan dari tingkat okupansi properti sektor ritel," tutur Senior Associate Director of Research Colliers Ferry Salanto dalam konferensi pers di Gedung WTC I, Jakarta, Selasa (3/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ferry mengungkapkan, okupansi menurun akibat kenaikan pasokan properti di sektor ritel tak sebanding dengan peningkatan permintaan. Kondisi ini sejalan dengan turunnya peringkat sektor ritel Indonesia dari peringkat 5 pada 2016 menjadi peringkat 8 dalam Global Retail Development Index. Padahal, penjualan ritel secara umum mekar 8,02 persen dalam perhitungan tahunan.
Jika dirinci, okupansi properti sektor ritel di pusat bisnis (CBD) hanya mencapai 87,8 persen. Namun angka itu masih lebih tinggi dibandingkan tingkat keterisian area belanja di luar CBD yang hanya sebesar 82,2 persen.
Dari sisi pasokan, area sewa yang tersedia meningkat seiring penutupan sejumlah toko ritel di pusat perbelanjaan.
Sebagai pengingat, belum lama ini Pusat Perbelanjaan Matahari mengumumkan penutupan dua gerai di dua pusat perbelanjaan di Blok M dan Manggarai, Jakarta. Hal itu dipicu oleh kebijakan perusahaan yang ingin lebih fokus pada penjualan ritel berbasis daring (online).
Namun, berdasarkan survey AC Nielsen, penjualan online tidak berpengaruh besar terhadap pusat perbelanjaan karena pembeli tetap ingin melihat dan mencoba produk secara langsung untuk beberapa merchant.
"Selain itu, untuk Jakarta, pusat perbelanjaan juga menjadi pusat hiburan," jelasnya.
Pasokan properti di sektor retail juga bertambah dari beberapa pusat perbelanjaan yang berekspansi, maupun baru beroperasi. Salah satunya, pusat perbelanjaan Aeon Mall Jakarta Garden City yang menambah 68 ribu meter persegi.
Berbagai ekspansi memperluas pasokan properti di sektor ritel menjadi 4,63 juta meter persegi.
Dari sisi permintaan, beberapa gerai ritel baru, terutama di bidang fesyen dan kuliner, mulai beroperasi di Jakarta. Sekitar 60 persen transaksi sewa berasal dari gerai pakaian dan aksesori bayi dan anak-anak, peralatan olah raga, tas dan sepatu. Kuliner mengekor di kisaran 30 persen, dan sisanya berasal dari gerai produk kesehatan kecantikan serta perhiasan
.Harga Sewa NaikDari sisi harga sewa, Faisal mencatat kenaikan rata-rata harga sebesar 5 persen sejak awal tahun menjadi di kisaran Rp610.863 per meter persegi per bulan.
Sementara itu, harga sewa pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan naik 9 persen sejak awal tahun menjadi Rp618.474 per meter persegi per bulan. Kenaikan harga sewa pusat perbelanjaan di CBD lebih rendah yaitu hanya tiga persen dengan angka tinggi yakni menyentuh Rp885.182 per meter persegi per bulan.
Tak hanya itu, rerata biaya pelayanan (service charge) juga tercatat naik 5,5 persen sejak awal tahun menjadi Rp133.284 per meter persegi per bulan. Service charge di pusat perbelanjaan kelas menengah dan atas ada di kisaran Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per meter persegi per bulan.
Senior Associate Director Colliers Steve Sudijanto menambahkan, ke depan, tren okupansi pusat perbelanjaan di daerah CBD bakal cenderung naik seiring perbaikan kondisi keuangan masyarakat. Namun, bagi mal yang tren jumlah pengunjungnya sudah melandai, tingkat okupansinya tetap diperkirakan turun.
"Nyawa dari mal itu dari jumlah pengunjung. Kalau suatu mal pengunjungnya sedikit dan transaksinya sedikit, mal itu akhirnya tidak akan bisa
survive," ujarnya.
Menurut Steve, pusat perbelanjaan harus mau berevolusi untuk tetap menarik pengunjung dan menjaga tingkat okupansi. Dalam hal ini, pusat perbelanjaan tidak hanya sekedar tempat untuk berbelanja tetapi untuk hiburan dan pemenuhan gaya hidup.
Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga daya beli masyarakat sehingga masyarakat memiliki penghasilan yang bisa dibelanjakan di pusat perbelanjaan. Salah satu caranya, pemerintah perlu memperbaiki sistem transportasi publik sehingga masyarakat bisa mengurangi alokasi anggaran untuk transportasi pribadi.
"Intinya adalah bagaimana pemerintah bisa memberikan uang ke publik," ujarnya.