Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memastikan bakal menerbitkan aturan terkait pembatasan impor tembakau. Ketentuan tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait tata niaga tembakau.
Enggartiasto mengungkapkan, dalam aturan itu, pemerintah bakal mewajibkan industri menyerap hasil tembakau lokal sebelum melakukan impor dari negara lain. Aturan pembatasan impor tembakau diperlukan agar produsen rokok menyerap seratus persen hasil tembakau petani Indonesia. Pasalnya, menurut Enggartiasto, industri tembakau domestik selama ini hanya menyerap tembakau lokal pada saat harga jatuh bukan di saat panen.
"Petani tembakau adalah petani yang paling sengsara. Tembakau itu dibeli bukan pada saat dia panen, tetapi pada saat industri butuh. Kapan industri butuh? Setelah harga tembakau itu turun," ujar Enggartiasto dalam suatu acara di Jakarta, Selasa (3/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, beleid itu juga diharapkan bisa mendorong pelaku industri tembakau melakukan kemitraan dengan petani lokal. Dengan demikian, pada akhirnya, kesejahteraan petani bisa meningkat.
Kebijakan pembatasan impor serupa pernah dilakukan pemerintah untuk komoditas jagung. Sebagai pengingat, pada 2015 lalu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menekan Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Tumbuhan ke dan dari Wilayah Indonesia yang membatasi impor jagung maksimal hanya 1 juta ton. Impor hanya boleh dilakukan oleh Perum Bulog berdasarkan penugasan dari Pemerintah.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia Muhaimin Moeftie menilai wacana kebijakan yang dilontarkan Kemendag tidak tepat. Pasalnya, produksi tembakau lokal belum bisa memenuhi kebutuhan industri.
Moefti mengungkapkan industri rokok di Indonesia memproduksi sekitar 340 miliar batang per tahun. Jika setiap batang rokok membutuhkan satu gram tembakau, kebutuhan tembakau industri mencapai 340 ribu ton per tahun. Sementara itu, petani lokal hanya bisa memasok 200 ribu ton per tahun.
"Jadi ada
gap yang banyak sekali sehingga mau tidak mau harus impor," ujar Muhaimin.
Selain itu, beberapa varian tembakau ada yang tidak bisa tumbuh di Indonesia. Belum lagi, industri juga membutuhkan daun tembakau yang berkualitas.
Moefti mengaku baru membicarakan wacana kebijakan ini sekali dalam satu pertemuan dengan Kemendag. Dalam pertemuan itu, Gaprindo mengusulkan adanya kemitraan antara industri rokok dengan petani lokal. Hal ini telah dilakukan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam kemitraan tersebut, industri tidak hanya membeli tembakau dari petani tetapi juga membantu dalam penyediaan lahan dan bibit tembakau.
"Kemudian, waktu penanaman kami dampingi sampai dengan pemetikan. Harga juga kami rundingkan sehingga petani untung, kami juga untung," jelasnya.