Jakarta, CNN Indonesia -- Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyatakan, penolakannya terhadap opsi swastanisasi pembangkit listrik. Hal ini terkait perkiraan gagal bayar PLN dalam memenuhi kewajibannya.
“Kami secara tegas menolak. Karena, menyerahkan aset ke swasta yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak merupakan pelanggaran konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat,” ujar Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda seperti dilansir ANTARA, Kamis (5/10).
Penegasan tersebut terkait dengan bocornya surat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait kondisi keuangan perusahaan setrum pelat merah itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam surat itu, Sri Mulyani mengaku khawatir terhadap kemampuan PLN dalam membayar utang, mengingat kinerja keuangannya terus melorot.
Untuk mengatasi persoalan itu, Sri Mulyani meminta, Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN menurunkan biaya produksi listrik, terutama di sisi energi primer, termasuk mengevaluasi pembangunan pembangkit program 35.000 MW yang sangat berlebih dan tak sesuai kebutuhan.
Jumadis menuturkan, untuk biaya pembangunan pembangkit dengan sumber pendanaan dari utang, baik yang dilakukan oleh PLN sendiri maupun oleh swasta, tentu akan menambah beban bagi PLN.
"Bila swasta yang membangun pembangkit, justru PLN dikenai kewajiban
take or pay. Ambil atau tidak diambil kWh produksi listriknya, maka PLN harus bayar dengan
capacity factor 80 persen. Tentu, kondisi ini lebih menyulitkan PLN lagi," katanya.
Sementara, solusi yang diutarakan dan akan diambil oleh Kementerian ESDM dan BUMN, justru dianggap tidak tepat, yang akan semakin menggerus keuangan, seperti upaya semakin memperbanyak dominasi swasta dalam pembangunan pembangkit.
"Pendapat Menteri BUMN yang akan menjual aset pembangkit PLN yang sehat kepada swasta, justru akan memberatkan keuangan PLN," ucapnya.
Mengacu konstitusi, ia menegaskan, tidak boleh diserahkan dan dikuasai perusahaan pribadi. "Kalau mau memaksakan juga, agar tidak melanggar konstitusi, ubah dulu konstitusinya," imbuh Jumadis.
Ia berpendapat bahwa solusi untuk menurunkan biaya pokok produksi (BPP) seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam surat itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan terutama di energi primer.
"Menteri ESDM (Ignasius Jonan) sebenarnya bisa dengan menurunkan harga gas alam di hilir untuk pembangkit PLN. Namun, yang dilakukan oleh pak Jonan
justru menaikkan harga gas alam di hulu dengan Conocophilips dari harga semula 2,6 dolar AS per MMBTU menjadi 3,5 dolar AS per MMBTU. Ini ada apa?" tandasnya.
Jika harga gas di hilir diturunkan, maka tentu BPP listrik PLN bisa lebih rendah dan tentu keuangan PLN bisa lebih baik.
"Dari bauran energi serta harga energi primer saja, bila dilakukan bisa mendapatkan penghematan sampai Rp40 triliun per tahun. Apalagi, pola operasi yang lebih boros dengan keberadaan listrik swasta bisa dibenahi dan ditinjau ulang, termasuk biaya pemeliharaan pembangkit China yang sering rusak. Biaya pemeliharaannya sangat besar melebihi kewajarannya sehingga memboroskan keuangan PLN", terang dia.
Jumadis menambahkan, seharusnya dengan ketiga unsur tersebut PLN bisa mencegah pemborosan Rp60 triliun pada tahun ini. Ini merupakan penghematan signifikan agar keuangan PLN bisa sehat.
(bir)