Nusa Dua, CNN Indonesia -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah meningkatkan daya saing industri kelapa sawit di tanah air guna menghadapi pasar dunia yang semakin ketat.
Saat ini, industri sawit tanah air disebut tengah menghadapi sejumlah sentimen, mulai dari resolusi Uni Eropa hingga penerapan tarif tinggi terhadap bea masuk anti dumping (BMAD) biodiesel Indonesia yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) dan India.
"Kami melihat negara-negara pengimpor lebih proyektif dan lebih ketat terhadap sawit Indonesia. Ini membuat persaingan di pasar global menjadi tidak pasti," ujar Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono, Kamis (2/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Joko melihat, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri sawit Indonesia. Pertama, memperluas jangkauan dan penetrasi pasar ekspor sawit ke beberapa negara tradisional maupun nontradisional.
Kedua, membuat iklim investasi lebih bergairah lagi, sehingga aliran modal ke dalam negeri untuk sektor ini terus menjanjikan. "Misalnya dengan menyederhanakan regulasi," katanya.
Ketiga, memperkuat pengembangan industri kelapa sawit secara keberlanjutan
(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), khususnya dari sisi penataan institusi dan kualitas sertifikat ISPO. "ISPO harus diperkuat agar ISPO lebih kredibel dan diakui secara internasional," imbuhnya.
Adapun hingga kini, pihaknya dan pemerintah juga telah melakukan upaya peningkatan daya saing industri sawit, antara lain melalui peremajaan perkebunan
(replanting) sawit, khususnya kepada perkebunan petani kecil
(small holder) dan penguatan kemitraan antara petani kecil dengan perusahaan besar.
Terkait tiga permintaan GAPKI itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa pemerintah memang terus menampung dan mengupayakan usulan dari para pengusaha itu. Ia mencontohkan soal perluasan jangkauan dan penetrasi pasar ekspor yang menurutnya saat ini telah diuapayakan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita ke beberapa negara nontradisional, seperti Pakistan, Iran, Nigeria, hingga Afrika Selatan (Afsel).
"Saya sendiri sudah ke Iran dan India. Mendag juga sudah ke Nigeria, Afsel, dan lainnya. Semua sudah kami lihat," kata Darmin pada kesempatan yang sama.
Hanya saja, memang hasilnya tak bisa instan. Sebab, hubungan kerja sama perdagangan internasional perlu waktu dan kesepakatan yang baik agar nantinya tak berujung masalah dan bisa menguntungkan kedua negara.
Selanjutnya, soal iklim usaha. Darmin bilang, pemerintah tengah mengupayakan pencetakan sertifikat lahan sebagai jaminan bentuk hukum, baik kepada petani kecil maupun perusahaan besar. Sebab, legalitas menjadi salah satu indikator untuk menjamin iklim investasi yang kondusif.
Adapun hal ini dilakukan atas dasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasan Tanah dalam Kawasan Hutan. Langkah nyatanya, kata Darmin, sudah dilakukan bersamaan dengan program replanting di Kabupaten Musi Banyuasin, Palembang, Sumatera Selatan pada pertengahan Oktober lalu.
Saat itu, pemerintah akan meremajakan sekitar 4.400 hektar perkebunan sawit. Namun, ternyata sekitar 1.300 hektar diantaranya masih bermasalah lantaran masuk ke kawasan hutan. Akhirnya, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan izin agar lahan tersebut bisa digunakan oleh para petani kecil di kawasan itu.
"Kami juga sedang tunggu Instruksi Presiden (Inpres), kami mau tunggu aturan itu untuk menyelesaikan dan membuat kejelasan pada semua kepemilikan lahan, baik perkebunan kelapa sawit kecil dan besar. Harus ada peta dan datanya," terangnya.
Terakhir, soal ISPO. Darmin mengatakan, penguatannya masih terus diupayakan agar standar tersebut sejajar dengan internasional. Sebab, diakuinya memang ISPO menjadi satu dari tiga pilar kebijakan pengembangan keberlanjutan industri sawit yang digagas oleh kementeriannya.
Salah satunya dengan memperkuat pendataan terhadap seluruh transaksi di industri ini, termasuk pada pabrik-pabrik penyerap hasil perkebunan kelapa sawit.
"Ke depan, semua pabrik beli dari siapa saja, harus jelas. Dengan begitu, kami bisa klaim bahwa industri ini memenuhi standar, ini sama dengan Malaysia. Dia tahu siapa beli dimana, stoknya tinggal berapa, itu semua pengaruhi pembentukan harga juga," pungkasnya.