Nusa Dua, CNN Indonesia -- Pemerintah menyebut, telah menerbitkan 300 sertifikat pengembangan industri kelapa sawit secara keberlanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) sampai akhir Oktober 2017.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Hari Priyono mengatakan, 300 sertifikat ISPO tersebut berasal dari 1,8 juta hektar lahan sawit di seluruh Indonesia dengan angka produksi mencapai 8,5 juta ton.
Penerbitan 300 sertifikat ISPO itu membuat pemerintah telah memenuhi sekitar 85 persen dari target penerbitan 350 sertifikat pada tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, demi mengejar kekurangan, Hari berharap agar pihak swasta juga memberikan kontribusi dalam percepatan penerbitan sertifikat. Caranya, dengan segera mengajukan pendaftaran sertifikat ISPO tersebut.
"Saya ingin mendorong pihak swasta untuk terus menunjukkan komitmen mereka. Mereka harus memfasilitasi sekitar 20 persen areal perkebunan masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2009 mengenai tata kelola kelapa sawit secara berkelanjutan," ucap Hari di acara 13th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2018 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/11).
Senada, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa pemerintah akan mempercepat penerbitan sertifikat ISPO sebagai langkah untuk mengerek daya saing hasil produksi industri kelapa sawit Indonesia.
"Kita perlu perkuat dan percepat pelaksanaan ISPO sebagai standar industri kelapa sawit Indonesia," kata Darmin pada kesempatan yang sama.
Bahkan, program sertifikat ISPO menjadi salah satu dari tiga pilar kebijakan pemerintah, termasuk soal peremajaan lahan kelapa sawit dan proses penyelesaian konflik lahan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bakal sejalan dengan komitmen pemerintah dalam memperkuat daya saing industri kelapa sawit Indonesia melalui sertifikat ISPO.
Hanya saja, Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono melihat bahwa standar sertifikat ISPO ini harus diperkuat kembali dan terus mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh internasional.
"ISPO harus diperkuat terutama terkait dengan penataan institusi agar ISPO lebih kredibel dan diakui secara internasional," tutur Joko.
Tak hanya itu, Joko juga berharap agar standar ISPO juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang dicanangkan oleh Perwakilan Bangsa-bangsa (PBB).
Misalnya, memaksimalkan manfaat dari sertifikat ISPO ke sisi pengentasan kemiskinan, pendidikan petani yang lebih baik, sanitasi, tenaga kerja, konsumsi, hingga pertumbuhan ekonomi.
Tak hanya itu, keunggulan sertifikat ISPO juga diharapkan bisa menangkis sentimen negatif yang selama ini masih membayangi sektor perdagangan internasional CPO.
"Termasuk kaitan dengan negara-negara pengimpor yang lebih proyektif dan ketat dengan sawit Indonesia, seperti sentimen resolusi Uni Eropa, sentimen biodiesel anti dumping Amerika Serikat, hingga peningkatan tarif bea masuk kelapa sawit di India. Ini semua membuat ketidakpastian di pasar global," pungkasnya.