Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia pada perdagangan Selasa (21/11) waktu Amerika Serikat menguat, ditopang oleh sentimen Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bakal memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi. Namun demikian, harga minyak tetap memperoleh tekanan dari sinyal kenaikan produksi di Amerika Serikat (AS).
Harga minyak mentah Brent naik US$0,17 menjadi US$62,39 per barel pada pukul 14:52 GMT. Hal yang sama juga terjadi pada harga minyak mentah ringah AS CLc1 yang naik US$0,3 menjadi US$56,72 per barel.
Dilansir dari Reuters pada Rabu (22/11), sejumlah analis memperkirakan harga minyak mentah Brent bakal berfluktuasi pada kisaran sempit yaitu sekitar US$61 hingga US$63 per barel. Hal itu seiring dengan pasar yang menanti hasil dari pertemuan OPEC di Wina, Austria pada 30 November mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diberitakan sebelumnya, negara anggota OPEC maupun non-OPEC berkomitmen untuk membatasi produksi demi memangkas pasokan global dan mendongkrak harga minyak dunia. Kesepakatan ini sudah berlangsung sejak Januari 2017 hingga Maret 2018. Namun, santer beredar bahwa OPEC akan memperpanjang kesepakatan itu hingga akhir tahun depan.
"Pasar hanya menanti konfirmasi bahwa OPEC ingin melaksanakan perpanjangan tersebut," ujar Manajer Senior Saxo Bank Ole Hansen.
Namun, keraguan bahwa sejumlah negara tidak ingin terus menjalankan pembatasan produksi, termasuk Rusia, membuat pedagang lebih berhati-hati dan menetapkan harga. Padahal, keberhasilan suatu kesepakatan membutuhkan keterlibatan dari setiap pihak.
"Berlawanan dengan berita baik, kami memiliki sejumlah komentar dari Rusia yang dapat mengindikasikan bahwapada tahap ini mereka (Rusia) lebih suka menunggu dan melihat (perkembangan)," ujarnya.
Kantor Berita Rusia TASS kemarin melaporkan, sejumlah produsen minyak di Rusia telah bertemu dengan Kementerian Energi untuk membicarakan perpanjangan pembatasan selama enam bulan. Hal berlawanan dengan ide awal Presiden Vladimir Putin yang mengusulkan sembilan bulan.
Sebenarnya, tantangan OPEC terbesar berasal dari meningkatnya aktivitas pengeboran di AS untuk memproduksi minyak shale.
Konsultan energi Westwood Global Energy Group mengatakan produksi AS bakal merangkak naik dengan lebih cepat dari yang diimplikasikan oleh jumlah rig. Jumlah rig sendiri telah meningkat dari 316 rig pada pertengahan 2016 menjadi 738 pekan lalu, seiring meningkatnya produktivitas setiap sumur produksi.
"Westwood Global Energy meramal kenaikan 18 persen dari rig aktif pada 2018, tetapi permintaan lebih deras pada area layanan tersebut seperti operator yang fokus pada efisiensi," ujar konsultan tersebut.
Konsultan energi FGE juga mengingatkan, pasar bisa kembali merosot hingga 2019 jika produksi AS terus meningkat, meskipun disrupsi pasokan bisa berujung pada kenaikan harga minyak tahun depan.
"Kami melihat tekanan besar lain dari pertumbuhan produksi AS sekitar 1 juta hingga 1,5 juta barel per hari pada 2018 dan 2019," ujar FGE.
Lebih lanjut, pelaku pertukaran komoditas AS CME Group menyatakan bakal menerbitkan kontrak berjangka baru yang memperhitungkan spread antara kontrak berjangka WTI AS dengan Dubai yang menjadi pembanding untuk Timur Tengah, mulai 18 Desember. Hal ini mencerminkan naiknya ekspor minyak dari AS ke Asia.
(agi)