Jakarta, CNN Indonesia -- Batu bara telah memegang peranan yang penting bagi perekonomian Indonesia. Sejak digali dari perut bumi Indonesia tahun 1892, batu bara menempatkan diri sebagai salah satu komoditas strategis di negeri ini.
Batu bara, salah satunya berperan penting dari sisi ekspor. Memang, nilai ekspor batu bara sering bergejolak karena sangat rentan terhadap fluktuasi harga. Namun, sekalinya harga membaik, itu bisa menopang neraca perdagangan. Dalam 10 tahun terakhir, puncak nilai ekspor batu bara terjadi di tahun 2011 dengan nilai US$27,22 miliar atau 13,37 persen dari total nilai ekspor Indonesia di tahun itu yakni US$203,5 miliar.
Tak hanya ekspor, batu bara juga mengambil peranan yang tinggi bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor mineral dan batu bara. Untuk tahun kemarin misalnya, realisasi PNBP batu bara tercatat Rp15,52 triliun atau 57,03 persen dari keseluruhan realisasi PNBP minerba di angka Rp27,21 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pemerintah nampaknya harus mulai mengerem keinginan untuk menggaet penerimaan dari batu bara. Sebab, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), produksi batu bara akan dibatasi hanya 400 juta ton per tahun saja.
Padahal, kali terakhir produksi batu bara di bawah 400 juta ton per tahun adalah enam tahun lalu. Sementara di tahun ini saja, produksi batu bara diperkirakan menembus 477 juta ton.
Adapun di dalam buku I RPJMN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, produksi batu bara dikurangi dari 421 juta ton di tahun 2014 menjadi 400 juta ton. Tujuannya, menguatkan ketersediaan energi primer di dalam negeri sebagai sasaran utama ketahanan energi di tahun 2019 mendatang. Sayangnya, penekanan produksi ini dipandang skeptis lantaran pemerintah makin membutuhkan masukan dari PNBP minerba demi membiayai belanja negara yang terus bertumbuh setiap tahunnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot mengatakan, semakin tinggi pertumbuhan target PNBP batu bara ke depan, maka semakin susah pemerintah mengawasi pembatasan produksi batu bara. Dengan kata lain, jika produksi batu bara ingin ditekan, maka pemerintah harus mau mengurangi sumbangan PNBP dari batu bara.
"Bahkan ada kemungkinan tahun 2019 produksinya masih berlebih nantinya. Selama target PNBP tinggi, kemudian itu akan membebani kontrol terhadap produksi,” ujar Bambang beberapa waktu lalu.
 Tahun ini, produksi batu bara diperkirakan menembus 477 juta ton.(CNN Indonesia/Safir Makki) |
Lalu, apakah ada cara jitu demi mengerek penerimaan dari sektor batu bara di tengah rencana pembatasan produksi dua tahun mendatang?
Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, pembatasan produksi batu bara merupakan langkah baik yang disusun pemerintah. Menurutnya, Indonesia memang perlu mengamankan cadangan batu bara mengingat di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2017 hingga 2026 mendatang, bauran energi dari batu bara masih mendominasi dengan angka 50,3 persen.
Di sisi lain, ia menyadari bahwa akan ada turbulensi dadakan terhadap Anggaran Pnedapatan dan Belanja Negara (APBN) jika produksi batu bara dibatasi. Maka dari itu, demi mengamankan penerimaan negara, pemerintah seharusnya bisa memungut besaran royalti dan PNBP dengan melihat kondisi harga batu bara, atau biasa disebut
windfall profit tax.Melalui mekanisme ini, pemerintah bisa memungut royalti tinggi jika kondisi harga batu bara sedang membaik, begitu pun sebaliknya. Menurut Marwan, langkah ini merupakan cara jitu mengisi pundi-pundi negara, dan merupakan praktik yang berlaku di dalan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
“Hal seperti ini juga sudah diberlakukan di sektor migas melalui mekanisme
split sliding scale. Saya lihat, di sektor batu bara harusnya langkah ini juga bisa diberlakukan,” paparnya.
Menurutnya, pemungutan PNBP dengan cara
windfall profit ini pun dipandang adil karena negara dan kontraktor sama-sama mendulang untung ketika harga membaik, dan sama-sama buntung ketika harga anjlok.
Meski demikian, ia mengatakan rendah atau tingginya harga batu bara tidak berpengaruh signifikan terhadap APBN. Ia beralasan, dengan rata-rata Harga Batubara Acuan (HBA) 2016 di angka US$61,84 per metrik ton, tetap saja masih ada penerimaan lain yang lebih berkontribusi secara signifikan, yakni penerimaan pajak.
“Ya jadi tinggal pengaturan anggaran saja, jangan sampai (APBN) lebih besar pasak daripada tiang,” ungkapnya.
Sementara itu, ekonom Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pemerintah mungkin akan mengkaji lagi rencana pembatasan produksi batu bara karena dipengaruhi momentum harga yang sedang kinclong.
Di samping itu, permintaan batu bara ke China nampaknya juga akan meningkat seiring industri manufaktur yang tengah bergeliat. Sehingga, ekspornya pun kemungkinan akan semakin deras.
Apalagi, sejauh ini realisasi penerimaan PNBP sektor minerba juga telah melampaui target. Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi PNBP sektor minerba sudah mencapai Rp35 triliun atau lebih tinggi dibanding target yakni Rp32,4 triliun.
“Pencapaian realisasi minerba jadi pertimbangan juga. Di saat penerimaan pajak turun, maka PNBP justru bisa diandalkan. Jadi sangat mungkin pembatasan produksi batu bara dievaluasi ulang,” ungkap Bhima.
Adapun untuk mengamankan PNBP sektor minerba, ia berpendapat bahwa pemerintah harus memperbaiki pengawasan atas pungutan dan pelaporan perusahaan tambang jika nanti revisi Undang-Undang (UU) PNBP rampung dibahas.
“Jadi potensi yang sudah ada administrasinya diperbaiki termasuk perubahan royalti batu bara,” paparnya.
Meski nantinya pembatasan produksi jadi diberlakukan, pelaku usaha nampaknya tak ambil pusing.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, perusahaan tambang tentu akan mematuhi apa pun peraturan pemerintah. Namun, ia berharap pemerintah bisa mengkaji lebih dalam dampak batu bara terhadap perekonomian nasional.
Menurutnya, saat ini perusahaan tambang batu bara kini memiliki insentif kencang untuk berinvestasi mengingat harganya yang kini tengah membara. Adapun, hasil dari investasi ini di kemudian hari juga ikut menyumbang penerimaan bagi negara.
“Ekonomi Indonesia selama ini tertolong membaiknya harga komoditas batu bara maupun kelapa sawit. Saya kira meski ada RPJMN, pemerintah tentu memahami kepentingan industri dan memperhatikan investasi,” kata Hendra.
(agi)