Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan terdapat beberapa indikator yang menunjukkan pengelolaan anggaran di daerah tidak efisien.
Direktur Jenderal Perimbangan Kemenkeu, Boediarso Teguh Widodo mengatakan, yang pertama adalah jumlah belanja pegawai yang jauh lebih besar dibanding belanja modal.
Perbandingannya, 36,6 persen belanja pegawai degngan 20 persen belanja modal. Kedua, adalah penyerapan anggaran yang belum optimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Realisasi belanja modal lambat dan kemudian simpanan pemerintah daerah (Pemda) di bank itu makin tahun makin meningkat," jelas Boediarso di acara Budget Day Kementrian Keuangan di Kementerian Keuangan, Jakarta Rabu (22/11).
Indikator ketiga, lanjut Boediarso, adalah ketimpangan pelayanan publik antar daerah. Ia mencontohkan, salah satu bentuk ketimpangan adalah partisipasi sekolah hingga SMA di Padang Sidempuan mencapai 87 persen. Sebaliknya di pegunungan Bintan, Papua, hanya 7 persen.
Padahal, anggaran transfer ke daerah makin meningkat dari tahun ke tahun. Sampai saat ini anggaran transfer daerah sudah mencapai Rp766 triliun meningkat 89,4 persen dibanding pertama kali saat diluncurkan desentralisasi sebesar Rp81 triliun.
Dalam kurun yang sama, belanja daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga meningkat hampir 12 kali lipat dari Rp93 triliun menjadi Rp1.097 triliun.
"Tetapi kenaikan dari belanja APBD dan transfer daerah tidak diikuti dengan pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien," jelas Boediarso.
Menurutnya Boediarso, pengelolaan, perencanaan dan monitoring keuangan negara merupakan kebutuhan yang mendesak dan krusial untuk dilakuka.
"Hal itu mengingat pengelolaan APBN dan APBD masih terdapat celah, yang masih dapat diperbaiki ke depan agar lebih efektif, efisien, optimal dan produktif" paparnya.
(gir)