Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf berencana memanggil Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terkait wacana
cost sharing (berbagi biaya) antara BPJS Kesehatan dengan peserta dalam menanggung pembayaran delapan penyakit tertentu.
Menurut dia,
cost sharing berpotensi melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24/2011 mengenai BPJS apabila dilaksanakan sepihak.
"Harus didudukkan dulu terkait ini karena menyangkut amanah UU. Kami akan panggil BPJS untuk jelaskan rencananya," ujarnya dalam pesan singkat, Senin (27/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan informasi yang dihimpun, BPJS Kesehatan berencana menerapkan sistem
cost sharing terhadap delapan penyakit, yakni jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia.
Padahal, Dede menilai, delapan penyakit tersebut bukan lah kategori penyakit langka. "Penyakit masyarakat, seperti jantung, stroke, kanker, dan gagal ginjal sudah masuk kategori umum. Bahkan, orang desa pun sekarang berpotensi (terkena) penyakit itu” katanya.
Politisi Demokrat ini menuding, wacana
cost sharing delapan penyakit tersebut justru menunjukkan bahwa pemerintah seolah-olah ingin lepas dari tanggungjawabnya kalau memposisikan diri layaknya perusahaan asuransi dalam hal membiayai/membayarkan (klaim) nasabahnya.
"Jadi, apa bedanya jaminan sosial dengan asuransi jika manfaat dikurangi," imbuh Dede.
Anggota Komisi IX Fraksi NasDem Irma Suryani mengatakan, pemerintah perlu merevisi UU SJSN jika ingin merealisasikan
cost sharing terhadap sejumlah penyakit, khususnya penyakit kataspropik, yang membutuhkan biaya tinggi.
"Jika direalisasikan, maka yang harus dilakukan adalah merevisi UU. Jika tidak pemerintah nyata-nyata melanggar," terang Irma dalam pesan singkat.
Irma menjelaskan, pasal 22 ayat (2) UU 40/2004 menyebutkan, urun biaya hanya bisa dilakukan jika pelanggan Jaminan Kesehatan Nasional menyalahgunakan pelayanan.
Akan tetapi, jika hal itu tidak terjadi, maka pemerintah wajib menanggung seluruh pelayanan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Bahkan, obat dan bahan medis yang diperlukan pelanggan JKN sebagaimana bunyi pasal 22 ayat (1).
"Pertanyaannya, apakah peserta yang menderita penyakit katastropik menimbulkan penyalahgunaan pelayanan? Saya kira tidak, peserta JKN penderita katastropik tidak melakukan penyalahgunaan pelayanan," pungkasnya.
(bir)