Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia terkerek pada perdagangan akhir pekan lalu. Kenaikan permintaan minyak mentah dari China dan ancaman mogok pekerja di Nigeria menjadi pemicunya.
Dilansir dari Reuters, Senin (11/12), harga minyak mentah acuan Brent tercatat naik 1,9 persen atau US$1,2 menjadi US$63,4 per barel pada penutupan pekan lalu. Hal sama juga terjadi pada harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) yang terdongkrak US$0,67 atau 1,2 persen menjadi US$57,36 per barel.
Kendati demikian, secara keseluruhan, harga minyak mentah dunia tercatat turun pada sepekan lalu. Harga minyak mentah AS terseret 1,7 persen dan harga minyak Brent melorot 0,5 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu terjadi akibat sentimen pasar terhadap risiko kenaikan produksi minyak AS yang berpotensi mengancam upaya Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi minyak dunia.
Badan Administrasi Umum Bea Cukai China (General Administration and Customs) mencatat impor minyak mentah dari China melonjak menjadi 9,01 juta barel per hari (bph), rekor tertinggi kedua yang pernah dicapai.
"Pasar mendapatkan angka yang bagus dari China," ujar Analis Tyche Capital Advisor John Macaluso.
Ekstra impor minyak mentah, lanjut Macaluso, kebanyakan tidak berasal dari Arab Saudi. Namun, permintaan itu diisi oleh impor dari Iran, Rusia, AS, serta beberapa negara lain.
Lonjakan permintaan minyak mentah yang terjadi dapat membuat China mengungguli AS sebagai importir minyak mentah dunia terbesar tahun ini.
Bank Investasi As Jefferies memperkirakan permintaan minyak mentah global tahun depan bakal melonjak sebesar US$1,5 juta barel per hari, dipicu oleh pertumbuhan permintaan dari China yang hampir 10 persen.
"Secara umum, pasar terlihat lebih sehat," imbuh Analis PVM Oil Associates Tamas Varga.
Ia mengatakan, ancaman mogok dari serikat pekerja Nigeria yang merupakan eksportir terbesar di Afrika, mendukung kenaikan harga. Aksi mogok kerja tersebut rencananya bakal dilakukan mulai 18 Desember nanti.
Selain itu, keputusan OPEC, Rusia, dan sejumlah negera produsen minyak lain, untuk memperpanjang kesepakatan pemangkasan produksi minyak dari Maret 2018 menjadi akhir tahun depan juga menopang pasar.
Sebelumnya, kartel produsen minyak mentah tersebut telah melakukan pemangkasan produksi minyak sebesar 1,8 juta bph sejak Januari 2017 lalu.
Pemangkasan produksi tersebut mendongkrak harga minyak pada Juni hingga Oktober, dengan harga minyak Brent untung sekitar 40 persen.
"Meskipun Anda tidak memiliki persepsi harga bakal naik (bullish), OPEC dan Rusia telah menyingkirkan risiko terburuknya," kata Pimpinan Analis Komoditas SEB Bank Bjarne Schieldrop.
Shieldrop menambahkan, harga minyak Brent kemungkinan tidak bakal tertekan hingga ke level di bawah US$61 per barel.
Namun demikian, data Badan Administrasi Informasi Energi AS masih menunjukkan produksi minyak mentah AS melonjak 25 ribu bph menjadi 9,7 juta bph sepanjang pekan yang berakhir pada 1 Desember 2017 lalu. Capaian tersebut merupakan angka produksi tertingi sejak era 1970-an dan mendekati level produksi Arab Saudi dan Rusia.
Dalam tiga minggu terakhir, perusahaan energi AS juga menambah rig minyak setiap minggunya yang kenaikan tertinggi sejak musim panas lalu. Hal itu dipicu oleh melonjaknya harga minyak mentah yang mendorong pengebor untuk kembali ke sumur pengeboran setelah jeda musim gugur.
Laporan perusahaan layanan energi Baker Hughes menyatakan pengebor minyak menambah dua rig minyak pada pekan lalu, membuat total rig yang beroperasi di AS mencapai 751 rig, tertinggi sejak September.
Lebih lanjut Komisi Perdagangan Komoditas Berjangka AS (CFTC) juga menyatakan, manajer dana dan investasi tak lagi bertaruh pada terjadinya kenaikan harga minyak pada pekan lalu. Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran terhadap kenaikan produksi minyak AS.
(bir)