ANALISIS

Dampak Minim Transaksi Ringgit dan Baht ke Ekspor Impor RI

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 12 Des 2017 17:52 WIB
Kebijakan transaksi perdagangan dengan Malaysia dan Thailand menggunakan mata uang lokal dinilai tak berdampak signifikan pada perdagangan jangka pendek.
Kebijakan transaksi perdagangan dengan Malaysia dan Thailand menggunakan mata uang lokal dinilai tak berdampak signifikan pada perdagangan jangka pendek. (REUTERS/Damir Sagolj)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) resmi meluncurkan kebijakan pembayaran transaksi perdagangan dan investasi langsung menggunakan mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS) dengan Malaysia dan Thailand. Dengan demikian, transaksi antar kedua negara bisa menggunakan rupiah, ringgit (Malaysia), dan baht (Thailand) mulai 2 Januari 2018 mendatang, sehingga bisa mengurangi penggunaan dolar Amerika Serikat (AS).

Kebijakan ini pun diyakini BI bisa membuat biaya yang dikeluarkan pengusaha lebih efisien lantaran tak perlu lagi mengonversikan nilai perdagangan ke dolar AS. BI pun membidik, jumlah nilai dan volume perdagangan ekspor impor bisa meningkat hingga dua kali lipat.

Berdasarkan catatan BI, nilai rata-rata transaksi perdagangan dari tiga negara itu mencapai US$1,2 triliun per tahun atau setara 50 persen dari total perdagangan di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan secara bilateral, perdagangan antara Indonesia dengan Malaysia rata-rata sekitar US$19,5 miliar per tahun dalam kurun waktu 2010-2016. Sementara dengan Thailand mencapai US$15 miliar per tahun pada periode yang sama.

Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) melihat, kebijakan dari BI ini sebenarnya tak begitu berdampak signifikan pada perdagangan jangka pendek. Pasalnya, harga komoditas, permintaan, dan penawaran (supply and demand) tetap menjadi faktor utama yang mempengaruhi kinerja perdagangan.

Selain itu, perbedaan nilai konversi dari mata uang lokal, misal ringgit dan baht langsung ke rupiah dengan konversi mata uang lokal ke dolar AS, lalu ke rupiah tak jauh berbeda. Kendati demikian, kebijakan ini memberikan kemudahan bagi pengusaha dari sisi akses.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti melihat, kebijakan ini setidaknya akan terasa untuk jenis komoditas yang rutin diperdagangkan dan menjadi komoditas utama dari masing-masing negara.

"Khususnya untuk komoditas yang dominan (diekspor dan impor oleh masing-masing negara) dan yang frekuensinya sering," ujar Yunita kepada CNNIndonesia.com, Selasa (12/12).

Data BPS mencatat, Malaysia dan Thailand memang menjadi tiga besar negara tujuan ekspor non migas Indonesia di kawasan Asean setelah Singapura.

Ekspor nonmigas ke Malaysia mencapai US$623,9 juta secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Oktober 2017. Sedangkan secara tahun kalender (year-to-date/ytd) ekspor non migas ke Malaysia telah mencapai US$5,79 miliar pada Januari-Oktober 2017.

Sementara Thailand membuntuti Malaysia sebagai negara tujuan ekspor, yaitu sekitar US$474,8 juta (mtm) dan US$4,52 miliar (ytd) pada Oktober 2017.

Namun, untuk impor, justru Indonesia lebih banyak mengambil impor dari Thailand, yaitu mencapai US$752 juta (mtm) dan US$7,64 miliar (ytd) pada Oktober 2017. Sedangkan impor dari Malaysia hanya sekitar US$474,2 juta (mtm) dan US$4,23 miliar (ytd) pada Oktober 2017.

Menurut BPS, komoditas ekspor dari Indonesia ke Malaysia yang bisa meningkat jumlah nilai dan volumenya, yaitu batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO).

Sedangkan ekspor ke Thailand, lebih ke batu bara dan perlengkapan kendaraan. Sayangnya, BPS belum dapat memprediksi berapa besar peningkatan perdagangan yang dapat dihasilkan dari kebijakan ini.

Di sisi lain, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengaku siap menjalankan dan memanfaatkan kebijakan ini dalam aktivitas perdagangan mereka. Sebab, kebijakan ini memberikan sentimen positif pada efisiensi biaya, yaitu tak perlu membuang biaya hanya untuk konversi ke dolar AS.

"Pengusaha sudah sangat siap dengan kebijakan ini. Karena presentase Malaysia (biaya yang terbuang hanya karena konversi ke dolar AS) dari seluruh aktivitas impor dan ekspor sekitar dua persen," tutur Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno.

Untuk itu, ia melihat kebijakan ini 100 persen akan merangsang pertumbuhan perdagangan dari para pengusaha Indonesia. Adapun komoditas yang dilihat akan lebih bergairah perdagangannya ke dua negara itu, yaitu batu bara, beras, gula, dan fertilizer.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal melihat, kebijakan dari BI ini memang akan menjadi stimulus, meski perhitungan efisiensinya perlu dilihat kembali. Sebab, ia melihat, dari sisi volume mungkin bisa lebih meningkat. Hanya saja, perdagangan tetap mendapat pengaruh besar dari harga komoditas di pasar dunia.

Namun, di sisi lain ada yang perlu diwaspadai, khususnya terkait perdagangan dengan Thailand yang saat ini masih mengalami defisit. Selain itu, impor dari Thailand juga masih banyak dari komoditas pangan.

"Padahal kalau pangan seharusnya kita bisa memproduksinya, misalnya beras. Kecuali impornya adalah barang penolong untuk industri, itu bisa menjadi pemicu pada pertumbuhan industri itu sendiri," kata Faisal kepada CNNIndonesia.com.

Untuk itu, pemerintah juga perlu mendukung agar roda industri dalam negeri tetap bisa berdaya saing dan menambah kapasitasnya. Sehingga, kebijakan ini bisa dimanfaatkan untuk memperbesar ekspor. Di sisi lain, impor komoditas yang sebenarnya bisa diproduksi bisa lebih digenjot lagi. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER