Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia menilai, pertumbuhan Indonesia yang mulai berkilau di tahun ini bisa jadi redup di tahun depan akibat fluktuasi harga komoditas.
Chief Economist Bank Dunia Frederico Gil Sanders menyebut, harga komoditas seperti batu bara dan mineral lain berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal III. Ini terlihat dari pertumbuhan ekspor sebesar 17,27 persen secara
year on year (yoy).Namun, ia khawatir tren ini tidak bisa berlanjut di tahun 2018 karena kenaikan harga komoditas dianggap tidak begitu tinggi. Harga komoditas, menurut dia, bahkan bisa terpelanting setiap saat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ini bisa semakin parah jika ekonomi China terus mengalami deselerasi, mengingat China adalah mitra dagang Indonesia. Jadi bisa dibilang, salah satu risiko yang masih harus dihadapi tahun depan adalah harga komoditas,” jelas Frederico, Kamis (14/12).
Bank Dunia memprediksi, harga batu bara akan jatuh ke angka US$70 per metrik ton di tahun depan dari rata-rata posisi saat ini US$85 per metrik ton. Hal yang sama juga terjadi bagi komoditas logam dasar.
Di sisi lain, Bank Dunia malah memprediksi harga minyak dunia naik dari rata-rata US$53 per barel menjadi US$58 per barel. Frederico menganggap kenaikan harga minyak ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ini bisa meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Pajak Penghasilan (PPh) migas, namun di saat yang sama, ini bisa membuat subsidi energi semakin bengkak.
Oleh karenanya, Bank Dunia meminta pemerintah untuk kembali menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) penugasan yakni Premium dan Solar. Selain mengamankan defisit fiskal, ini juga bisa membantu PT Pertamina (Persero) yang telah rugi Rp18,9 triliun sepanjang Januari hingga September gara-gara berjualan BBM penugasan.
"Dengan naiknya harga energi, maka seharusnya ada intensi untuk kembali menyesuaikan harga BBM agar lebih baik," tambahnya.
Agar pertumbuhan ekonomi dan fiskal bisa aman, Bank Dunia berharap Indonesia bisa bergerak perlahan mengurangi dominasi komoditas dalam ekonomi. Frederico mengatakan, langkah tersebut sudah terlihat pada kuartal III kemarin, di mana sebagian besar Penanaman Modal Asing (PMA) tidak bergerak di sektor ekstraktif.
"Kemarin ada indikasi pergeseran investasi dari sektor pertambangan ke hilirisasi mineral. Sudah banyak impor mesin-mesin yang merupakan belanja modal dari perusahaan," tambahnya.
Di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III sebesar 5,1 persen secara tahun kalender (year-to-date). Sementara itu, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan di angka 5,3 persen.
(agi)