Jakarta, CNN Indonesia -- Generasi milenial dinilai terancam tak bisa memiliki hunian, khususnya rumah tapak karena diniai cenderung menghabiskan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan waktu luang (
leisure). Sementara itu, pendapatan dan harga rumah kian timpang.
Ignatius Untung, Country General Manager rumah123.com, situs properti di Indonesia mengatakan, hal ini tercermin dengan meningkatnya pengeluaran milenial untuk
leisure dan
traveling. Sayangnya, kebiasaan itu justru kian membuat milenial kian susah memiliki hunian.
"Faktanya harga properti naik lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan kenaikan gaji milenial setiap tahunnya," ujar Ignatius di kawasan Kuningan, Selasa (19/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mencatat, rata-rata harga jual rumah di DKI Jakarta sebesar Rp480 juta per unit. Namun, masih ada sekitar 40 persen dari milenial di Jakarta yang bergaji di bawah Rp12 juta per bulan, sehingga menurut perhitungannya hanya sekitar 6 persen milenial yang bisa membeli rumah di Jakarta.
Di sisi lain, Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk Theresia Rustandi berpandangan, generasi milenial sebenarnya tak semata-mata hanya ingin menghabiskan uang untuk leisure.
Sebab, dari sisi pendapatan sering kali milenial masih butuh waktu untuk mengumpulkan dananya guna membeli sebuah hunian.
"Karena mereka perlu mencari properti yang sesuai dengan kemampuan mereka. Jadi mungkin mereka memang lebih memilih untuk sewa sementara dibandingkan membeli," kata Theresia kepada
CNNIndonesia.com.
Kendati begitu, ia melihat ada hal lain yang membuat milenial tak memilih membeli hunian untuk jangka panjang saat ini, yaitu karena karakteristik milenial yang lekat dengan perubahan jaman dan gaya hidup.
Alhasil, ini membuat milenial cenderung lebih suka menyewa properti untuk jangka waktu tertentu dan ketika ada tawaran properti lain yang bisa memenuhi kebutuhannya, mereka bisa beralih.
"Karena ada pengaruh
lifestyle (gaya hidup), mereka ingin yang serba praktis. Apalagi aktivitas mereka tidak banyak lagi di rumah, sehingga mereka mulai mencari hunian yang punya fasilitas aktratif. Makanya dari kami pun arahnya menghadirkan hunian yang banyak fasilitas dan terintegrasi, misalnya dengan mall," jelasnya.
Bukan PrioritasDirektur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata melihat, memang ketertarikan milenial untuk mencari pengalaman saat ini melesat tinggi. Namun, hal ini tak semata-mata jadi biang keladi berkurangnya keterjangkauan milenial untuk memiliki hunian.
"Ada kemungkinan bahwa memiliki hunian itu memang bukan prioritas. Mungkin dengan karakter mereka yang suka pengalaman, itu pula yang dilihat milenial saat memilih hunian. Sehingga, solusinya bukan hanya membuat harga hunian terjangkau, tapi menawarkan pengalaman tersebut," ujar Isa di kawasan Kuningan.
Hal ini pula yang menurutnya sudah dipetakan pemerintah, yaitu dengan rencana membangun hunian di kawasan yang terintegrasi dengan sistem transportasi (Transit Oriented Development/TOD).
 (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Dalam konsep itu, pemerintah telah memikirkan cara untuk memanfaatkan kekayaan negara melalui aset-aset dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam hal ini lahan milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI untuk dijadikan titik hunian baru bagi masyarakat.
Sehingga, pemerintah tak hanya memenuhi kebutuhan hunian masyarakat, namun memberikan nilai tambah lain pada pengalamannya berhuni di pusat kota dengan sistem yang terintegrasi langsung dengan transportasi, sehingga memberikan kemudahan akses.
Kendati begitu, ia belum bisa mengestimasi total seluruh lahan milik negara, melalui berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) yang bisa digunakan untuk mempercepat kebijakan ini. Sebab, pemerintah juga masih terus menghitung potensi lahan yang bisa dialihkan untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat.
"Belum ada data inventaris. Tapi kami tidak ingin membuat target yang terlalu cepat. Kami masih terus pelajari ini," imbuhnya.
Perbedaan Kriteria Senior Associate Director Colliers Indonesia, Ferry Salanto melihat, kecenderungan milenial tak membeli hunian dalam hal ini rumah tapak terjadi memang karena perbedaan kriteria hunian pada generasi saat ini.
"Ini sudah bergeser ketika apartemen pertama di Jakarta itu lebih pada lifestyle. Generasi yang baru belum punya rumah, akhirnya memilih rumah vertikal (seperti apartemen)," katanya.
Ia melihat, ada kehidupan yang lebih praktis ditawarkan pada hunian ini dan sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini. Di sisi lain, pemilikan apartemen juga kian mudah dari masa ke masa.
Misalnya, saat ini hampir semua perbankan menawarkan fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), meski turut menawarkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Namun, dengan harga lahan dan rumah yang kian melambung maka apartemen tetap dipilih oleh generasi saat ini.
Sementara, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN yang dikenal sebagai perbankan spesialis KPR mengatakan, perusahaan tetap pada core bisnis, namun segmen KPA dilihatnya memang akan meningkat tahun depan. Hal ini membuat perusahaan membidik pertumbuhan yang lebih tinggi pula dari segmen ini.
Direktur Utama BTN Maryono memperkirakan, penyaluran KPA tahun ini akan meningkat sekitar 10-12 persen dari tahun kemarin. Sayang, ia belum memegang data pastinya.
“Kami optimistis tumbuh 10-12 persen tahun ini dan tahun depan lebih besar lagi karena banyak konstruksi apartemen yang selesai tahun depan, terutama di kota besar,” katanya.
(gir/agi)