Jakarta, CNN Indonesia -- Likuiditas perbankan mencerminkan kemampuan perbankan dalam melunasi kewajibannya dan juga mengonversi aset menjadi uang tunai, untuk dipinjamkan kembali.
Biasanya, kondisi likuiditas perbankan bisa tercermin dari rasio penyaluran kredit terhadap simpanan atau Dana Pihak Ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR). Semakin tinggi LDR, maka likuiditas perbankan semakin ketat.
Jika diperluas, maka kondisi likuiditas juga bisa tercermin dari rasio penyaluran kredit terhadap seluruh sumber pendanaan perbankan, termasuk obligasi, yang disebut Loan to Funding Ratio (LFR).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sama dengan LDR, semakin tinggi rasio LFR, maka semakin ketat likuiditas perbankan. Biasanya, rasio LFR bakal lebih rendah dari LDR mengingat LFR tidak hanya memperhitungkan jumlah DPK perbankan sebagai faktor pembagi.
Namun, jika likuiditas terlalu longgar, maka industri perbankan tidak efisien karena menyimpan dana yang seharusnya bisa disalurkan sebagai kredit.
Sebaliknya, jika terlalu ketat, industri perbankan terekspose oleh risiko gagal membayar kewajiban yang berupa simpanan. Pasalnya, pelunasan kredit memakan waktu dan mengandung risiko gagal bayar.
Karenanya, otoritas mengatur rentang tertentu yang dianggap sebagai batas aman sesuai kondisi perekonomian yang terjadi.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/14/PBI/2016 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/14/PBI/2016 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, rentang aman LFR ada di kisaran 80 hingga 92 persen.
Secara sederhana, ada dua faktor penentu kondisi likuiditas. Pertama, seberapa deras penyaluran kredit. Kedua, seberapa besar sumber pendanaan.
Hingga akhir tahun ini, baik analis maupun bankir sepakat likuditas perbankan bakal lebih longgar dibandingkan tahun lalu.
Penyebabnya berasal dari kombinasi penyaluran kredit yang belum sekencang target yang diharapkan dan berlimpahnya Dana Pihak Ketiga akibat kecenderungan masyarakat menahan konsumsi.
Sebagai pengingat, di awal tahun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih percaya diri untuk memasang target pertumbuhan kredit mencapai dua digit yaitu di kisaran 9 hingga 12 persen. Dalam perjalanannya, pertumbuhan kredit tak bisa melampau 10 persen.
Per Agustus 2017, pertumbuhan kredit tercatat hanya 7,9 persen menjadi Rp4.304,29 triliun. Sementara, DPK perbankan tercatat Rp4.827,11 triliun atau tumbuh 8,9 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai likuiditas tahun ini bakal cenderung melonggar dibandingkan tahun lalu. Penyebabnya adalah penyaluran kredit yang belum sekencang perkiraan karena masih bertengger di satu digit.
Bhima memproyeksikan LDR di akhir tahun akan ada di kisaran 89 hingga 90 persen. Proyeksi itu lebih rendah dibandingkan posisi tahun lalu yang ada di kisaran 90,7 persen. Per akhir Agustus 2017, LDR perbankan tercatat 89,17 persen, juga lebih rendah dibandingkan posisi yang sama tahun lalu, 90,04 persen.
"Dengan pertumbuhan kredit di kisaran 8 hingga 9 persen sampai akhir tahun ini masih ada ruang untuk menjadi likuiditas," ujarnya.
Menurutnya, sebagian besar bank masih berhati-hati dalam menyalurkan kredit terutama segmen kredit konsumsi dan ritel.
Sementara, dari sisi DPK bakal ada kecenderungan menurun hingga akhir tahun.
"Biasanya akhir tahun ada penarikan dana untuk libur dana dan tahun baru. Karena bersifat seasonal bank biasanya sudah mengantisipasi," ujanrya.
Meskipun melonggar dibandingkan tahun lalu, Bhima masih melihat adanya risiko pengetatan likuditas akibat pengaruh eksternal.
Dalam hal ini, kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/ The Fed) dan normalisasi neraca AS. Berdasarkan data tenaga kerja dan inflasi AS, nampaknya The Fed bakal kembali mengerek suku bunga acuannya sekali di akhir tahun.
Selain itu, ada potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral Eropa dan Jepang yang bisa menarik aliran modal dari negara berkembang.
"Dikhawatirkan terjadi capital reversal dari negara berkembang ke negara maju," ujarnya.
Senada dengan Bhima, ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro juga melihat tahun ini likuiditas perbankan bakal lebih longgar dibandingkan tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh penyaluran kredit yang melambat dibarengi dengan pertumbuhan DPK yang lebih kencang.
"Likuiditas masih longgar sampai akhir tahun," ujar Andry. Andry memprediksi kondisi likuiditas di akhir tahun menggunakan proksi penempatan kelebihan (ekses) likuditas perbankan yang ditempatkan di Bank Indonesia.
"Ekses likuiditas itu tidak digunakan bank untuk penyaluran kredit dan bisa ditarik sewaktu-waktu," katanya.
Ia memperkirakan, penempatan ekses likuiditas di BI hingga akhir tahun ada di kisaran Rp400 triliun hingga Rp450 triliun. Proyeksi itu lebih tinggi dari posisi akhir tahun lalu yang hanya berkisar Rp324 triliun.
Para bankir juga tak khawatir dengan kondisi likuiditas di akhir tahun.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menilai likuditas di perusahaannya bakal sangat longgar. Rasio LFR diperkirakan bakal ada di kisaran 74,5 persen.
"DPK naik lumayan besar dan kredit belum seperti yang diharapkan," ujar Jahja.
Pada paruh pertama tahun ini, BCA mencatatkan pertumbuhan kredit secara tahunan sebesar 11,9 persen menjadi Rp433 triliun. Pertumbuhan kredit tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan DPK yang tercatat 16,7 persen menjadi Rp572,2 triliun.
Senada dengan Jahja, Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Haryono Tjahjarijadi juga meyakini likuiditas bakal terjaga hingga akhir tahun.
"Sesuai dengan kondisi saat ini, LFR [Mayapada] kurang lebih di kisaran 82 hingga 85 persen akan bisa bertahan hingga akhir tahun. Artinya likuiditas di pasar normal/likuid," jelasnya.
Tahun ini, Haryono menargetkan pertumbuhan kredit di kisaran 17 hingga 18 persen atau melambat dibandingkan realisasi tahun lalu yang bisa tumbuh 37,84 persen.
Selain perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, perlambatan penyaluran kredit tahun ini juga disebabkan oleh korporasi yang mengambil opsi pembiayaan melalui penerbitan sertifikat deposito (NCD).
"Korporasi yang bisa menerbitkan NCD adalah korporasi yang sudah dirating oleh lembaga independen," ujarnya.