Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana pengenaan bea masuk barang tak berwujud (
intangible goods) mencuat. Maraknya aktivitas jual beli lintas batas barang tak berwujud menjadi peluang perluasan sumber penerimaan bagi negara.
Bea masuk merupakan pungutan dari negara atas barang yang diimpor. Dari keseluruhan postur penerimaan bea dan cukai, kontribusi bea masuk biasanya tak sampai seperlimanya. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan bea masuk Rp33,2 triliun dari seluruh penerimaan bea dan cukai yang sebesar Rp189,14 triliun.
Selama ini, impor barang tak berwujud berbayar, seperti piranti lunak (
software), musik, film, hingga buku elektronik (e-book), bebas bea masuk. Hal itu sesuai Deklarasi Perdagangan Elektronik Global Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang ditandatangani di Swiss pada 20 Mei 1998 silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan ditandatanganinya deklarasi tersebut, transfer pengetahuan melalui berbagai piranti lunak dari negara maju ke negara berkembang terbebas dari hambatan dagang.
 Impor barang tak berwujud berbayar, seperti piranti lunak ( software), musik, film, hingga buku elektronik (e-book), bebas bea masuk. Hal itu sesuai Deklarasi Perdagangan Elektronik Global Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang ditandatangani di Swiss pada 20 Mei 1998 silam. (Unsplash/Pixabay). |
Secara periodik, kebijakan itu terus dievaluasi dalam konferensi tingkat Menteri. Terakhir, moratorium pengenaan bea masuk itu bakal berakhir pada akhir tahun ini. Namun, peluang kesepakatan itu untuk kembali diperpanjang masih terbuka luas.
Indonesia, sebagai salah satu anggota WTO, juga wajib mengikuti ketentuan tersebut. Meskipun, sesuai penjelasan pasal 8B Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan, piranti lunak dan data elektronik bisa menjadi objek kepabeanan dan pengirimannya bisa melalui transmisi elektronik, misalnya melalui media internet.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai, Indonesia sebaiknya tetap memperhatikan praktik pengenaan bea masuk untuk barang tak berwujud yang dilakukan secara umum di dunia. Dengan begitu, masyarakat tidak terbebani harga yang lebih mahal dan daya saing Indonesia menjadi berkurang.
Terlebih, sektor perdagangan elektronik (e-commerce) sebenarnya merupakan sektor yang baru tumbuh yang perlu diberikan insentif agar ke depan bisa berkembang dengan mulus.
Kebijakan kepabeanan di berbagai negara saat ini lebih diarahkan sebagai alat kontrol bukan sumber penerimaan. Apalagi, negara-negara di dunia terus mendorong upaya untuk meminimalisir hambatan perdagangan dengan menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas (FTA).
"Pengenaan bea masuk, kalau motifnya adalah untuk penerimaan, dikhawatirkan bakal membuat Indonesia tidak kompetitif atau tidak menarik," ujarnya, Kamis (14/12).
Kendati demikian, Yustinus menyetujui pengenaan bea masuk jika motif yang mendasarkan adalah pengawasan lalu lintas barang tak berwujud, yang berpotensi membahayakan dari sisi pengguna dan mengancam industri dalam negeri.
Masalah kesiapan sistem dan administrasi juga perlu dipikirkan. Pasalnya, menurut Yustinus, pengawasan transaksi barang tak berwujud di dunia maya sulit dilakukan karena sistem yang kompleks. Bahkan, belum ada data valid yang bisa menangkap seluruh potensi transaksi barang tak berwujud yang terjadi secara cepat di dunia maya.
Karenanya, Yustinus menilai, otoritas sebaiknya manyelesaikan infastruktur Gerbang Pembayaran Nasional yang bisa membantu dalam memonitor transaksi pembayaran yang terjadi sebelum mengeluarkan kebijakan pengenaan bea masuk barang tak berwujud.
"Menurut saya, yang penting Indonesia membangun sistemnya dulu. Jangan setelah kebijakannya keluar, kebijakan tersebut tidak bisa diimplementasikan dalam waktu dekat," terang dia.
Senada dengan Yustinus, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira juga menilai, pengenaan bea masuk barang tak berwujud bukan sesuatu yang mendesak.
Toh, barang tak berwujud sebagian besar membantu berkembangkan ekonomi kreatif di Indonesia. "Kalau dipungut bea masuk justru akan menjadi beban bagi pengembangan industri kreatif di Indonesia apalagi kalau tujuannya sebagai barang untuk pendidikan," katanya.
Pemerintah, lanjut Bhima, sepertinya ingin mendongkrak penerimaan dari sektor bea masuk di saat penerimaan cukai dan rokok tidak lagi bisa diharapkan. Hanya saja, tujuan pengenaan bea masuk sebenarnya untuk melindungi pasar dalam negeri dari barang impor.
"Kalau dasar pemungutan bea masuk untuk barang tak beruwujud adalah penerimaan negara, saya kira pemerintah salah sasaran dan
blunder," imbuh dia.
Pengenaan bea masuk pada piranti lunak juga merupakan langkah mundur ke belakang dan bisa menyebabkan aktivitas pembajakan semakin meningkat.
"Sistemnya juga belum siap. Pemerintah kelihatannya sedang kebingungan, akhirnya semua barang mau dikenakan pungutan,” jelasnya.
Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) menilai wajar jika pemerintah ingin mengenakan bea masuk terhadap piranti lunak yang diperdagangkan melalui transmisi elektronik dengan alasan keadilan (fairness).
Selama ini, pemasok piranti lunak ke Indonesia memang banyak dari luar negeri. Hal yang perlu diperhatikan jika pemerintah ingin merealisasikan kebijakan pengenaan bea masuk adalah kemampuan sistem untuk melacak jika terjadi transaksi.
"Itu sulit karena orang mengunduh program di udara setiap saat bisa terjadi," tutur Ketua Aspiluki Djarot Subiantoro.
Dahulu, ia melanjutkan, pengenaan bea masuk sempat dikenakan pada disket berisi piranti lunak. Namun, harga yang menjadi acuan adalah harga disket penyimpannya. Padahal, harga program di dalamnya jauh lebih mahal.
Djarot sebenarnya tidak keberatan jika pengenaan bea masuk diterapkan. Hanya saja, ia menekankan agar skema pengenaannya harus jelas dan adil.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menilai, rencana pemerintah untuk mengenakan bea masuk bagi barang-barang tak berwujud (intangible goods) sebetulnya tidak sulit diterapkan.
Sebab, sistem belanja
intangible goods dianggap sudah sangat jelas, sehingga arus jual beli barang tak berwujud bisa dilacak dengan pasti.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengungkapkan, Kemenkominfo telah berbicara dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kemenkeu terkait pengenaan bea masuk ini.
Di dalam pertemuan itu, Kemenkominfo telah menerangkan sistem mobilisasi intangible goods, dimana mekanisme pungutannya ditentukan oleh Kemenkeu.
“Secara teknis tidak susah dan gampang diiketahui kok. Cuma mengenakannya bagaimana, saya tunggu dari teman-teman Kemenkeu,” ucap Rudiantara beberapa waktu lalu.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan, barang tak berwujud (intangible goods) yang diperdagangkan secara elektronik dari luar negeri akan dikenakan bea masuk tahun depan. Menurutnya, Indonesia tak perlu meminta izin atau melobi WTO untuk memberlakukan kebijakan tersebut.
Kebijakan pengenaan bea masuk barang tak berwujud perlu dikaji secara hati-hati. Jangan sampai, manfaat yang diperoleh dari kemudahan masyarakat dalam mengakses pengetahuan tergerus oleh nafsu pemerintah untuk mengisi kantong negara.
(bir)