Jakarta, CNN Indonesia -- Tren kenaikan harga minyak nampaknya akan berlanjut tahun depan. Salah satu pemicu utamanya, yaitu kesepakatan Organisasi Pengekspor Minyak Dunia (OPEC) untuk memangkas produksi minyak dunia sebesar 1,8 juta barel per hari (bph).
Kebijakan itu ampuh mendongkrak harga minyak dunia tahun ini hingga lebih dari US$50 per barel, melonjak dari tahun lalu yang secara rata-rata ada di bawah US$50 per barel.
Pada perdagangan Kamis (21/12), harga minyak mentah AS West Texas Intermediaries (WTI) tercatat US$58,09 per barel dan harga minyak mentah Brent US$64,56 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambah dengan proyeksi kenaikan permintaan seiring perbaikan perekonomian global, harga minyak dunia bisa menembus level US$60 per barel.
 Ilustrasi. kesepakatan Organisasi Pengekspor Minyak Dunia (OPEC) untuk memangkas produksi minyak dunia diyakini akan mendongkrak harga minyak di tahun depan. (REUTERS/Stringer). |
Dalam salah satu risetnya, DBS Group memperkirakan harga minyak tahun depan bakal naik di kisaran US$60 hingga US$65 per barel.
Padahal, pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) ada di level US$48 per barel. Lebih rendah dibandingkan rerata ICP November yang sebesar US$59,34 per barel.
Jika kenaikan harga minyak berlanjut, lantas bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?
Dari sisi fiskal, dompet negara bakal diuntungkan oleh kenaikan harga minyak dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, setiap US$1 kenaikan harga minyak dunia per barel di atas asumsi APBN, dompet negara bakal bertambah Rp700 miliar. Pendapatan itu bersumber dari penerimaan pajak maupun non pajak yang disumbang oleh kegiatan ekonomi di sektor migas.
Pernyataan Sri Mulyani terkonfirmasi oleh capaian realisasi pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017.
Per 15 Desember, realisasi pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas telah mencapai Rp49,6 triliun atau melampaui perkiraan pemerintah yang hanya sebesar Rp41,8 triliun. Capaian itu juga meningkat 43,35 persen dari realisasi periode yang sama tahun lalu.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas di mana per pertengahan tahun ini telah terealisasi Rp72,9 triliun atau melonjak 84 persen akibat kenaikan harga minyak. Angka itu melampaui proyeksi pemerintah yang sebesar Rp72,2 triliun.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga memperkirakan realisasi investasi hulu minyak dan gas (migas) bisa naik 20 persen tahun depan, setelah terus merosot dalam beberapa tahun belakangan.
"Mudah-mudahan dengan kenaikan harga (minyak), kegiatan investasi bisa naik lagi," ujar Wisnu.
Kendati demikian, perekonomian Indonesia tidak hanya sebatas moncernya penerimaan fiskal. Ekonom dari Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan, hingga saat ini, Indonesia masih lebih banyak mengimpor dibandingkan mengekspor minyak mentah atau net importir.
Akibatnya, ketika harga minyak dunia naik beban impor minyak Indonesia akan melonjak. "Artinya, surplus perdagangan Indonesia bisa menipis bahkan bisa jadi defisit kalau (harga minyak) tinggi sekali kenaikannya," katanya.
Pernyataan Faisal beralasan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga akhir November 2017, surplus neraca perdagangan Indonesia tercatat US$12,02 miliar atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu US$7,79 miliar.
Kendati demikian, neraca perdagangan di sektor migas masih mencatat defisit sebesar Rp7,56 miliar atau melonjak 45,94 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, lanjut Faisal, kenaikan harga minyak berisiko mengurangi kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, pemerintah sudah mencabut sebagian besar subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Artinya, penyesuaian ke atas harga BBM bisa terjadi untuk menutupi kenaikan ongkos produksi PT Pertamina (Persero), selaku produsen dan distributor BBM. Akibatnya, inflasi bisa terdongkrak.
Direktur Pemasaran Pertamina Mochamad Iskandar beberapa waktu lalu menyebutkan, harga premium sebesar Rp6.450 per liter dan solar sebesar Rp5.150 per liter ini baru akan ekonomis jika harga minyak sebesar US$37 per barel.
Karena harga yang tak kunjung berubah, Pertamina harus menombok premium sebesar Rp450 per liter dan Solar sebesar Rp1.150 per liternya. Karenanya, Faisal mendorong pemerintah untuk mempercepat bauran energi maupun mendorong inovasi teknologi yang mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
Pemerintah sendiri telah memikirkan hal tersebut dengan mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi listrik. Diharapkan, pada 2025 mendatang, porsi EBT bisa mencapai 23 persen dari total sumber energi listrik. Saat ini, pemanfaatannya masih ada di kisaran 7 persen.
Selain itu, pemerintah juga mendorong pengembangan dan penggunaan mobil listrik. Selain lebih ramah lingkungan, penggunaan mobil listrik juga mengurangi ketergantungan pada bahan bakal fosil.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menambahkan, untuk jangka pendek pemerintah mungkin bisa mempertimbangkan opsi penambahan subsidi energi. Misalnya, dengan mengalihkan sejumlah anggaran dari pos tertentu.
"Kalau kondisi harga BBM bersubsidi dipertahankan, maka muncul kelangkaan dan ujungnya harga juga mahal," tutur Bhima.
Jika pemerintah langsung menyesuaikan harga, konsekuensinya inflasi akan melonjak. Kondisi ini akan berdampak negatif terhadap upaya industri perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit.
"Solusi satu-satunya, tambah alokasi subsidi," terang dia.
Sebagai catatan, tahun depan pemerintah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp94,5 triliun yang terdiri dari subsidi BBM dan LPG sebesar Rp46,9 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp47,7 triliun.
Minyak merupakan salah satu komoditas yang penting bagi aktivitas masyarakat. Karenanya, pemerintah perlu berhati-hati dalam menyikapi tren kenaikan harga minyak ke depan.
(bir)