Jakarta, CNN Indonesia -- Kenaikan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings, dari BBB- menjadi BBB memberikan angin segar bagi perekonomian Indonesia di penghujung tahun ini. Selain Fitch, Moody's juga diramal bakal ikut mengerek peringkat utang Indonesia di awal tahun depan.
Kedua lembaga tersebut terakhir kali menaikkan peringkat utang Indonesia pada 2011 dan 2012 lalu dan memasukkan Indonesia dalam kelompok negara layak investasi
(investment grade). Sementara itu, lembaga pemeringkat lainnya, Standard and Poors (S&P) baru menaikkan peringkat Indonesia pada Mei 2017 lalu.
Kenaikan peringkat utang oleh Fitch, dan kemungkinan bakal disusul Moody's, berpeluang menurunkan imbal hasil
(yield) obligasi pemerintah maupun korporasi dalam jangka pendek. Hal ini pun dinilai dapat dimanfaatkan oleh pemerintah maupun korporasi untuk mencari pendanaan di awal tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Ekonom BCA David Samual menuturkan, peringkat dari Fitch dan kemungkinan disusul Moody's di awal tahun depan berdampak positif bagi pasar kendati Indonesia sebenarnya sudah memperoleh peringkat layak investasi sebelumnya. Hal ini akan direspon pula dengan penurunan
yield Surat Berharga Negara (SBN).
"Beberapa bulan terakhir sejak S&P menaikkan peringkat, rata-rata
yield SBN sudah turun dari sempat 6,63 persen, sekarang sudah dikisaran 6,5 persen dan peluang penurunan dengan kenaikan dari Fitch masih terbuka, tapi penurunannya kemungkinan lebih tipis," ujar dia kepada CNNIndonesia.com, pada Sabtu (22/12).
David menuturkan, momentum ini sebaiknya dimanfaatkan pemerintah maupun korporasi untuk mencari pendanaan di awal tahun. Pasalnya, suku bunga global tahun depan bakal menghadapi tren peningkatan, seiring kebijakan pajak Amerika Serikat (AS) dan Bank Sentra AS menaikkan suku bunga acuannya.
"Kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk menerbitkan utang di awal tahun, karena ke depan, risiko untuk menerbitkan utang akan semakin tinggi," ungkap dia.
 Menteri Keuangan Sri Mulyani, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (2/11). ( Foto: CNN Indonesia/Safir Makki) |
Selain itu, menurut dia, pemerintah juga dapat membiayai
(refinancing) utang yang bunganya terbilang tinggi.
Senada, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih memperkirakan, penurunan
yield obligasi Indonesia kemungkinan masih akan terjadi, seiring kenaikan peringkat utang dari Fitch dan diperkirakan bakal disusul Moody's. Hanya saja, hal tersebut tak akan berlangsung lama.
"Suku bunga global kemungkinan akan meningkat seiring kesepakatan kebijakan pajak di AS, bahkan suku bunga akan naik, sebelum Fed menaikkan bunganya," ungkap dia.
Ia juga menyarankan pemerintah untuk memperbesar porsi
front loading penerbitan utang.
Front loading merupakan strategi pemerintah menarik utang dengan memperbesar porsi penerbitan utang di awal tahun.
"Kalau mungkin biasanya porsinya 60 persen di awal tahun, mungkin bisa ditingkatkan menjadi sekitar 70 persen," jelas dia.
Lana pun menyarankan pemerintah untuk menerbitkan surat utang dengan
holding periode (jangka waktu tertentu tak dapat dijual). Obligasi jenis ini menurut dia, memang harus menawarkan kupon yang lebih tinggi. Namun, itu dibutuhkan guna menahan aliran modal asing keluar secara masif jika terjadi goncangan.
"Misalnya SBN dengan tenor lima tahun,
holding periode-nya tiga tahun. Jadi kalau ada goncangan, aliran dana asing tidak keluar sekaligus," terangnya.
Selain pemerintah, menurut Lana, korporasi juga bisa memanfaatkan momentum tersebut untuk mencari pendanaan di awal tahun. Namun, jika pemerintah dan korporasi sama-sama memanfaatkan momentum awal tahun untuk menarik utang, Lana mewanti-wanti Bank Indonesia untuk menjaga likuiditas.
"Memang ada kemungkinan saling berebut likuiditas, saya rasa Bank Indonesia mampu menjaga agar tak ada kekeringan likuiditas," terang Lana.
Guna mencegah kemungkinan keringnya likuiditas, dia juga menyarankan pemerintah untuk lebih memilih penerbitan utang diluar negeri
(global bond). Sayangnya, kenaikan peringkat utang tersebut tak lantas membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani bergeming untuk mengubah kebijakan penerbitan utang di tahun depan.
Sri Mulyani mengaku, pemerintah tetap akan menerapkan strategi
front loading utang seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia juga mengaku belum berencana untuk memperbesar porsi
front loading untuk memanfaatkan momentum kenaikan peringkat utang tersebut.
"Kami tetap akan menerapkan strategi penerbitan utang seperti biasa," ujar Sri Mulyani di Bali, Jumat (22/12).
Pemerintah pada tahun depan menargetkan pembiayaan utang sebesar Rp399,2 triliun. Rencana utang tersebut, terdiri dari pembiayaan SBN neto sebesar Rp414,5 trilun dan pemberian pinjaman neto minus Rp15,3 triliun.
Tak hanya Pemerintah, BUMN penyelenggara jalan tol, PT Jasa Marga Tbk juga masih pikir-pikir untuk menerbitkan utang di awal tahun depan memanfaatkan momentum tersebut. Pasalnya, perusahaan tersebut baru-baru ini menerbitkan Komodo Bond sebesar Rp4 triliun.
"Kami akan gunakan dulu dana yang ada. Setelah itu, kebutuhan dana akan menyesuaikan dengan progres proyek. Penerbitan obligasi akan menjadi pertimbangan kami," terang Direktur Keuangan Jasa Marga Donny Arsal.
Kendati Komodo Bond terbit sebelum Fitch menaikkan peringkat, Donny mengaku sudah memperoleh dampak dari ekspektasi investor terhadap hasil penilaian Fitch yang sudah diduga bakal positif. Alhasil pada penerbitan surat utang berdenominasi rupiah, Jasa Marga mendapatkan kelebihan permintaan hingga empat kali kendati mematok bunga sebesar 7,5 persen.
(arh)