Tingkat Ketimpangan Si Kaya dan Si Miskin Turun Tipis

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Selasa, 02 Jan 2018 15:00 WIB
BPS mencatat, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk atau rasio gini turun tupis dari 0,393 persen pada Maret 2017 menjadi 0,391 persen pada September 2017.
BPS mencatat, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk atau rasio gini turun tupis dari 0,393 persen pada Maret 2017 menjadi 0,391 persen pada September 2017. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di Indonesia yang diwakili oleh rasio gini berada di angka 0,391 pada bulan September 2017. Angka ini menurun tipis dibandingkan bulan Maret 2017 sebesar 0,393 dan bulan September tahun lalu sebesar 0,394.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, jika rasio gini mendekat ke arah satu, artinya terdapat ketimpangan sempurna di Indonesia. Sebaliknya, jika rasio gini mendekat ke arah nol, artinya pengeluaran masyarakat, yang merupakan cermin dari pendapatan, terdistribusi secara sempurna.

Melihat angka di bulan September, tingkat ketimpangan antara si kaya dan si miskin mulai berkurang secara perlahan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suhariyanto menjelaskan, penurunan ketimpangan ini disebabkan karena pengeluaran golongan bawah meningkat lebih tinggi yakni sebesar 6,31 persen, dibanding golongan atas yang sebesar 5,06 persen.

“Ini semakin membaik, tapi memang, upaya menurunkan ketimpangan ini cukup sulit,” ujar Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (2/1).

Dalam menghitung rasio gini, BPS menggunakan standar yang digunakan Bank Dunia yakni membagi masyarakat dalam ketiga kelompok. Adapun, ketiga kelompok tersebut terdiri dari 40 persen masyarakat dengan pengeluaran rendah, 40 persen masyarakat pengeluaran menengah, dan 20 persen masyarakat pengeluaran tinggi.

Dari hasil perhitungan BPS, 46,12 persen pengeluaran masyarakat masih dilakukan oleh golongan kaya. Sementara itu, pengeluaran golongan masyarakat tidak mampu hanya 17,22 persen dari total pengeluaran masyarakat Indonesia antara Maret hingga September lalu. Kendati demikian, ia menganggap angka ini terbilang masih aman.

“Kalau pengeluaran 40 persen golongan masyarakat berpendapatan rendah di atas 17 persen, sesuai standar Bank Dunia, maka bisa disimpulkan bahwa ketimpangan rendah. Kalau angkanya 12 hingga 17 persen, maka ketimpangan dianggap sedang dan ketimpangan bisa dibilang akut jika di bawah 12 persen. Kali ini, nilainya 17,22 persen, jadi masih dianggap rendah,” paparnya.

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa tingkat ketimpangan paling kentara terjadi di perkotaan dibanding pedesaan. Hal itu tercermin dari rasio gini kota sebesar 0,404 persen atau lebih tinggi dibanding di desa yang hanya 0,320 persen.

Sementara itu, BPS juga mencatat bahwa rasio gini tertinggi berada di provinsi-provinsi dengan konsentrasi penduduk tinggi seperti DI Yogyakarta sebesar 0,440 persen, Jawa Timur sebesar 0,415 persen, dan DKI Jakarta sebesar 0,409 persen. Oleh karenanya, Suhariyanto menilai bahwa pemerintah perlu menaruh perhatian khusus bagi ketimpangan di perkotaan.

“Apalagi, 40 persen kelompok masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan hanya menyumbang 16,33 persen dari total pengeluaran masyarakat. Ini merupakan warning utama, bahwa ketimpangan di perkotaan harus bisa turun agar ketimpangan secara umum bisa terus membaik,” pungkas Suhariyanto. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER