Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali akan menggelar lelang wilayah kerja minyak dan gas (migas). Rencananya, pemerintah akan menawarkan lebih dari 20 blok migas konvensional, baik blok baru maupun blok-blok yang tak laku pada lelang-lelang tahun-tahun sebelumnya.
"Kami akan cek dulu kelengkapan datanya. Kami perlu waktu untuk konsultasi daerah. Tanggal 11 Januari, Pak Wamen (Wakil Menteri Arcandra Tahar) akan pimpin rapat secara keseluruhan," ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial di Jakarta, Kamis (4/1).
Padahal, berdasarkan data Kementerian ESDM, minat investor untuk mengelola blok migas masih belum sepenuhnya pulih. Hal itu tak lepas dari fluktuasi harga minyak dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2008, pemerintah bisa "menjual" 38 blok dari 56 blok migas konvensional yang dilego kepada investor. Capaian ini tertinggi dalam satu dasawarsa terakhir. Pada tahun 2012, sebanyak 28 blok migas juga laku dari 42 blok migas konvensional yang ditawarkan.
Sayangnya, investor tidak ada yang tertarik untuk mengeksplorasi blok migas yang ditawarkan pemerintah pada tahun 2015 dan 2016. Kala itu, harga minyak tertekan hingga ke level di bawah US$40 per barel, dari sebelumnya yang bisa melampaui US$100 per barel.
Tahun lalu, pemerintah menawarkan 10 blok migas konvensional. Setelah batas waktu pengembalian dokumen lelang ditutup akhir tahun lalu, pemerintah mencatat hanya lima blok migas yang diminati oleh investor.
 Data lelang blok migas konvensional 10 tahun terakhir. (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, pada dasarnya selama suatu bisnis masih dinilai menguntungkan, investor akan masuk. Minat kontraktor terhadap blok migas dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Harga minyak tentu menjadi salah satu faktor pertimbangan utama untuk menempatkan uangnya di bisnis yang berisiko ini. Namun, Komaidi mengingatkan selain faktor harga, kondisi iklim investasi juga menjadi pertimbangan investor. Misalnya, dalam hal kemudahan proses perizinan dan kepastian usaha.
"Untuk Indonesia, juga terkait masalah perizinan, rencanan tata ruang dan wilayah (RTRW), iklim investasi," ujar Komaidi.
Selain itu, kualitas data seismik juga menjadi pertimbangan investor saat membaca dokumen lelang yang ditawarkan pemerintah. Semakin datanya tidak jelas, kontraktor harus mengeluarkan dana lebih untuk melakukan pembaruan data demi menakar potensi cadangan migas di blok yang akan digarap.
Skema kontrak bagi hasil produksi (PSC) dengan pemerintah juga menjadi pertimbangan investor. Sebenarnya, Komaidi meragukan skema bagi hasil kotor (
gross split) dengan kontraktor yang mulai diadopsi pada lelang tahun lalu, bakal lebih menguntungkan investor dibandingkan skema pengembalian biaya produksi
(cost recovery). Pasalnya, berbeda dengan
cost recovery, pengembalian investasi pada kontrak gross split lebih lama.
Sebagai gambaran, kontraktor setidaknya membutuhkan waktu sekitar lima hingga sepuluh tahun untuk berproduksi. Terlebih, saat ini, tren eksplorasi mulai bergeser dari Indonesia barat ke lapangan baru di Indonesia bagian tengah dan timur yang notabene membutuhkan biaya lebih tinggi.
Dalam skema
gross split pengembalian modal baru bisa terealisasi pasca berproduksi. Sementara, untuk skema
cost recovery, operator dapat memperoleh pengembalian biaya operasional setiap tahun.
Konsekuensinya, pada skema gross split, investor bakal kehilangan kesempatan untuk menempatkan investasi dari hasil pengembalian tahunan.
"Jadi ini masalah arus kas," ujarnya.
Meskipun lelang blok migas tahun lalu yang mengadopsi skema
gross split lebih diminati oleh kontraktor dibadingkan tahun-tahun sebelumnya yang masih menggunakan kontrak
cost recovery, hal itu menurut Komaidi lebih disebabkan oleh fluktuasi harga minyak.
Untuk tahun ini, lanjut Komaidi, minat kontraktor pada blok migas di Indonesia bisa saja meningkat dibandingkan tahun lalu. Asalkan harga minyak terus merangkak naik dan ada perbaikan iklim investasi.
Direktur Asosiasi Perminyakan Indonesia (Indonesian Petroleum Association/IPA) Ignatius Tenny Wibowo mengungkapkan, secara umum perusahaan minyak tahun ini masih melakukan penyesuaian terhadap harga minyak.
"Jadi kemampuan kami untuk melakukan investasi dalam jumlah besar terbatas karena kami harus melakukan efisiensi," ujar pria yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur Santos Indonesia ini.
Kendati demikian, Tenny memperkirakan lelang blok migas tahun ini mungkin akan lebih baik dari tahun lalu. Pasalnya, harga minyak mentah dunia di awal tahun saja sudah melampaui level US$60 per barel, di atas harga pada awal tahun lalu yang masih di bawah US$40 per barel.
Selain itu, lanjut Tenny, pemerintah juga telah melakukan upaya perbaikan iklim investasi, misalnya dalam bentuk pemangkasan izin di Kementerian ESDM. Pemerintah juga berniat untuk membuka lebih banyak akses data sehingga membantu calon kontraktor yang ingin melakukan analisis terkait migas.
Namun demikian, Tenny menilai, masih perlu ada koordinasi internal pemerintah, baik antar kementerian di pusat, maupun antara pusat dan daerah. Jangan sampai upaya perbaikan yang dilakukan Kementerian ESDM tidak diimbangi oleh kementerian lain, misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun pemerintah daerah.
Tenny mengingatkan, kompetisi antar negara untuk menarik investasi semakin ketat. Sementara itu, Indonesia bukanlah satu-satunya negara di dunia yang memiliki cadangan minyak.
Indonesia menurut dia, memiliki pesaing dari negara lain yang juga memiliki lapangan minyak mulai dari yang tradisional seperti Timur Tengah maupun yang baru seperti di Amerika Latin.
"Kalau Indonesia ingin mendapatkan porsi investasi yang lebih besar, semestinya buat iklim investasi yang lebih menarik baik dari sisi fiskal maupun berbagai macam faktor, perizinan yang dipermudah misalnya," jelasnya.
Kementerian ESDM sendiri optimistis lelang blok migas tahun ini bakal lebih banyak diminati oleh investor. Selain karena tren perbaikan harga minyak, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kontrak Bagi Hasil
Gross Split juga memberikan sejumlah insentif bagi investor.
Dalam beleid tersebut, beberapa insentif yang ditawarkan pemerintah diantaranya pemberian fasilitas bea masuk impor atas barang operasi migas, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas perolehan dan pemanfaatan barang dan jasa operasi migas, serta pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas impor barang operasi migas.
(agi)