ANALISIS

Menakar Larisnya Surat Utang Negara di Awal Tahun

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 17 Jan 2018 11:33 WIB
Sejak awal tahun 2018, pemerintah Indonesia sudah tiga kali melelang surat utang, dan ketiganya terbilang laris manis di pasaran.
Sejak awal tahun 2018, pemerintah Indonesia sudah tiga kali melelang surat utang, dan ketiganya terbilang laris manis di pasaran. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Awal tahun ini sepertinya menjadi momen cerah bagi pemerintah dalam melelang surat utang. Sejak awal tahun, pemerintah sudah tiga kali melelang surat utang dan ketiganya terbilang laris manis di pasaran.

Pada tanggal 3 Januari silam, pemerintah telah melelang lima seri Surat Utang Negara (SUN) dengan nilai penawaran mencapai Rp86,2 triliun meski nilai yang dimenangkan hanya Rp25,5 triliun.

Kemarin, pemerintah juga mendapat penawaran sebesar Rp72,64 triliun meski dana yang dihimpun hanya Rp25,5 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya SUN, lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) juga terbilang moncer. Pemerintah berhasil mendapatkan Rp13 triliun dari penawaran sebesar Rp32,27 triliun.


Tingginya minat lelang ini boleh jadi buah manis bagi pemerintah yang menerapkan strategi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di awal tahun, atau biasa disebut front loading.

Nantinya, 60 persen dari rencana penerbitan surat utang Rp846,4 triliun sengaja dilepas pada semester pertama tahun ini.

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, sejauh ini strategi front loading yang dilakukan pemerintah cukup berhasil. Karena menurutnya, banyak sentimen positif yang mempengaruhi minat investor di awal tahun untuk memegang surat utang negara.

Yang pertama, kondisi dalam negeri Indonesia dipandang masih cukup stabil. Ini terlihat dari cadangan devisa yang cukup tinggi, yakni tembus US$130 juta dan inflasi tahun 2017 yang berada di angka 3,61 persen, atau lebih rendah dibanding target Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) sebesar 4,3 persen.


Tak hanya itu, kondusifnya perekonomian Indonesia juga tercermin dari kenaikan harga komoditas yang tentu berdampak baik bagi pos penerimaan APBN di tahun ini. Semakin membaiknya penerimaan, maka defisit anggaran tentu bisa dikerek turun dari target tahun ini 2,19 persen.

“Secara umum, kondisi dalam negeri masih bagus. Apalagi harga komoditas ini kan bullish terhadap Indonesia. Fiskal masih cukup baik dan ini menjadi daya tarik investor untuk menyerap surat utang Indonesia,” jelas David.

Tak hanya dari dalam negeri, sentimen eksternal juga ikut membantu moncernya lelang surat utang di awal tahun. Menurut David, investor atau manajer investasi cenderung melakukan alokasi portofolio investasi dan tertarik menanamkan uangnya di negara-negara berkembang.

Hal itu kemudian diiringi dengan lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings yang meningkatkan peringkat risiko surat utang Indonesia dari BBB- ke BBB akhir tahun lalu.

Bahkan, ada kemungkinan Moody’s akan menaikkan peringkat risiko surat utang Indonesia akhir bulan ini setelah tahun lalu memberikan outlook peringkat surat utang di level “positive”.

Maka dari itu, menurutnya tak heran jika banyak investor yang mengincar Indonesia sehingga lelang surat utang di awal tahun laris manis bak kacang goreng.

“Jadi di awal tahun, ini momentumnya cukup baik,” ujarnya.

David melanjutkan, kondisi ini dipandang cukup kondusif hingga akhir semester I, sehingga pemerintah bisa memanfaatkan waktu selama enam bulan untuk mencari pembiayaan. Indonesia diperkirakan rentan terpapar risiko global di semester II yang tentu berpengaruh terhadap kondisi fiskal.

Ilustrasi distribusi uang. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Jika ada intervensi faktor eksternal terhadap APBN, tentu saja ini bisa mempengaruhi tingkat risiko surat utang yang diterbitkan negara.

Beberapa faktor eksternal yang perlu diwaspadai Indonesia di semester II antara lain normalisasi suku bunga acuan Bank Sentral AS yang kemungkinan bisa bikin arus uang keluar (capital outflow) dari Indonesia.

Tak hanya itu, kenaikan harga minyak dunia yang sangat cepat juga bisa mengganggu pos belanja APBN.

Namun, dengan bejibun risiko yang membayangi Indonesia di semester II, bukan berarti pemerintah harus meningkatkan porsi front loading di paruh pertama 2018. Sebab, jika suplai surat utang terlampau banyak, maka imbal hasilnya (yield) bisa ikut terpengaruh.

“Kondisi sekarang memang cukup stabil. Tapi jangan sampai pemerintah meningkatkan porsi front loading karena ini semakin melemahkan daya tawar pemerintah dan berpengaruh ke imbal hasil,” tukas David.

Tambah Porsi Front Loading

Di sisi lain, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, pemerintah seharusnya meningkatkan porsi front loading dari posisi saat ini 60 persen dari penerbitan SBN bruto.


Sentimen positif yang ada saat ini, lanjutnya, bisa membuat pemerintah mendapatkan pembiayaan yang cukup murah.

Apalagi, Indonesia dipandang lebih menarik jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang sama-sama memiliki peringkat risiko surat utang serupa dengan Indonesia seperti Turki atau Brazil.

Memang saat ini, yield obligasi dengan tenor 10 tahun di kedua negara itu berada di angka 11,6 persen dan 9,9 persen, atau jauh lebih tinggi dibanding Indonesia yang tercatat 6,3 persen.

Tetapi, yield sendiri merupakan cerminan dari risiko investasi. Oleh karenanya, meski yield lebih kecil, Indonesia dipandang masih bisa menjaga risiko surat utang dalam jangka waktu yang cukup panjang.


“(Dengan yield saat ini) artinya risiko Indonesia ini masih lebih kecil. Apalagi, kondisi Indonesia juga lebih kondusif dibanding dua negara tersebut. Di Brazil kini sedang ada tensi politik, begitu pun Turki. Jadi strategi front loading ini seharusnya bisa lebih dimanfaatkan,” ungkapnya.

Indonesia sendiri, lanjut dia, tentu juga akan memasuki tahun politik di mana terdapat 171 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan pemilihan Presiden dan legislatif di tahun depan.

Namun, sejauh ini, ia tak melihat potensi bahwa itu bisa mengganggu minat investor dalam menggenggam surat utang Indonesia.

“Sejauh ini baik-baik saja, terbukti saat Pilkada DKI Jakarta yang panas kemarin itu tidak berpengaruh apa-apa,” jelasnya. (gir/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER