Ekonomi Global Tumbuh Sehat, Harga Minyak Kembali Menanjak

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 24 Jan 2018 07:35 WIB
Harga minyak mentah acuan Brent sempat menyentuh level US$70 per barel untuk pertama kalinya pada sesi perdagangan minggu ini.
Harga minyak mentah acuan Brent sempat menyentuh level US$70 per barel untuk pertama kalinya pada sesi perdagangan minggu ini. (ANTARA FOTO/Idhad Zakaria).
Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia terkerek lebih dari satu persen pada penutupan perdagangan Selasa (23/1), waktu Amerika Serikat (AS). Harga minyak mentah acuan Brent sempat menyentuh level US$70 per barel untuk pertama kalinya pada sesi perdagangan minggu ini.

Kenaikan tersebut terjadi, dipicu oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang sehat dan ekspektasi tertahannya produksi oleh kesepakatan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia, dan sekutunya.

Dilansir dari Reuters, Rabu (24/11), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) ditutup menanjak US$0,9 atau 1,4 persen menjadi US$64,47 per barel. Sebelumnya, harga WTI sempat mencapai US$64,89 per barel pada 16 Januari 2018 lalu, yang merupakan level tertingginya sejak Desember 2014.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenaikan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Brent sebesar US$0,93 atau 1,4 persen menjadi US$69,96 per barel. Harga tersebut tak jauh dari level tertinggi dalam tiga tahun terakhir, US$70,37 per barel, yang dicapai pada 15 Januari 2018 lalu.

Harga minyak mentah berjangka mengalami kenaikan pada penutupan perdagangan setelah perkiraan angka persediaan minyak mingguan AS yang dirilis oleh Asosiasi Perminyakan Amerika (API) menunjukkan kenaikan mengejutkan sebesar US$4,8 juta barel pada stok minyak mentah AS pekan lalu.

Jika data Departemen Energi AS yang akan dirilis Rabu (24/1) waktu setempat juga menunjukkan kenaikan persediaan, maka hal itu akan mematahkan penurunan pasokan yang terjadi selama sembilan minggu berturut-turut yang telah membantu mengurangi pasokan minyak mentah AS hingga ke level terendah sejak Februari 2015.

Hasil jajak pendapat analis yang digelar oleh Reuters memperkirakan, persediaan akan berkurang 1,6 juta barel.

Namun demikian, harga minyak berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) naik US$0,82 menjadi US$64,39 per barel, tak jauh dari harga penutupan, seiring reli kenaikan harga minyak mentah.
Senior Partner CRG Associate Andrew Lebow menilai, persediaan minyak mentah AS bakal mengalami penyesuaian dan mungkin menunjukkan sedikit kenaikan selama beberapa minggu ke depan yang merupakan faktor musiman.

"Hal ini mungkin akan menumpulkan reli kenaikan harga dan membuang sebagian kelebihan (harga) keluar dari pasar," ujar Lebow.

Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun ini dan tahun depan dari 3,7 persen menjadi 3,9 persen pada Senin lalu (22/1). Hal ini dapat meningkatkan permintaan terhadap produk minyak di tengah upaya pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC, Rusia, dan beberapa negera produsen lainnya.

Sebagai catatan, kesepakatan pemangkasan produksi sebesar 1,8 juta barel tersebut telah berjalan sejak Januari 2017 dan akan berakhir pada akhir 2018.

Sasaran utama dari kebijakan pemangkasan produksi OPEC adalah untuk mengurangi kelebihan pasokan global dan menyeimbangkan pasar kembali. Terdapat sejumlah ekspektasi bahwa OPEC akan membiarkan kesepakatan tersebut kedaluwarsa pada akhir 2018. Namun, produsen minyak besar belum menunjukkan bahwa upaya pemangkasan produksi tersebut akan berakhir.
Penurunan tajam pada produksi minyak Venezuela mengimbangi kenaikan produksi AS yang hampir mematahkan rekor produksi tertinggi sepanjang masa, yaitu sebesar 10,4 juta barel per hari (bph).

Produksi minyak Venezuela sedikit turun sebesar 2 juta bph pada tahun lalu, di bawah ekspektasi 2,5 bph. Badan Energi Internasional menyatakan, produksi akan terus turun pada 2018.

"Enam bulan lalu, konsentrasi banyak terarah pada seberapa cepat produksi (minyak AS) dapat tumbuh namun hal itu telah diimbangi oleh volatilitas Venezuela,"ujar Direktur Pelaksana Analisis BTU Analytics Tony Scott di Denver.

Toni menambahkan, dengan produksi minyak dari Arab Saudi dan Iran yang kemungkinan akan tetap stabil sepanjang tahun, akan sulit untuk melihat kenaikan pasokan bakal mengganggu reli kenaikan harga minyak. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER