Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bahwa rencana pengenaan bea masuk dan cukai tembakau impor bertentangan dengan dua Undang-undang yang ada saat ini, yaitu UU Nomor 17 tentang Kepabeanan dan UU Nomor 39/2007 tentang Cukai.
Adapun, rencana pengenaan bea masuk dan cukai tembakau impor tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pertembakauan. Persoalannya, tarif yang dikenakan dalam RUU tersebut jauh lebih tinggi ketimbang ketentuan yang ada dalam beleid sebelumnya.
Berdasarkan pasal 25 draf RUU Pertembakauan yang dihimpun
CNNIndonesia.com, rencananya pelaku usaha yang memasukkan atau mengimpor tembakau berupa lembaran daun, gagang tembakau, sobekan daun yang sudah dipisahkan dari gagangnya, bakal dikenakan bea masuk paling sedikit 60 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak cuma itu, pelaku usaha yang memasukkan impor tembakau rajangan malah akan dipatok bea masuk 200 persen dari harga penyerahan barang di atas kapal (
cost insurance freight).
Padahal, menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.010/2017 yang merupakan turunan dari UU Kepabeanan, tarif cukai rokok yang berlaku saat ini sebesar 5 persen.
Begitu pula halnya dengan cukai. Berdasarkan pasal 24 draf RUU Pertembakauan, impor rokok siap pakai rencananya akan dikenakan tarif cukai 200 persen. Ini disebut berlawanan dengan pasal 5 UU Cukai yang menyebut barang hasil tembakau bisa dikenakan nilai paling tinggi sebesar 57 persen dari harga dasar eceran.
“Kami mengidentifikasi beberapa norma atau pengaturan, yang paling tidak sudah diatur oleh 15 UU yang ada, termasuk UU Cukai dan UU Kepabeanan,” ungkap Heru Heru Pambudi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (24/1).
Ia melanjutkan, sebetulnya, konsep cukai hasil tembakau yang tercermin dalam tarif cukai harus didasarkan atas empat hal, yakni instrumen mengendalikan konsumsi, penerimaan negara, pemerataan dari aspek perekonomian, dan kompensasi biaya eksternalitas.
Menurut Heru, pengenaan tarif cukai yang berlaku saat ini sudah mempertimbangkan empat hal tersebut. Adapun, jika ada pengenaan tarif yang terlampau tinggi, maka harus ada rasionalitas terkait pengenaan angka tersebut.
Selain itu, jika DPR memaksakan besaran bea impor dan cukai tersebut di dalam RUU Pertembakauan, ia khawatir bahwa beleid ini berpotensi menjadi multitafsir karena beririsan dengan UU lainnya. “Buruknya, pengenaan tarif terhadap cukai ini jadi tidak ada kepastian hukum dan bisa berujung pada moral hazard,” imbuh dia.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo bilang, sebaiknya DPR, selaku inisiator RUU Pertembakauan, perlu mengantisipasi sengketa yang timbul akibat banyaknya UU yang beririsan dengan RUU usulan ini.
Sebab pada praktiknya, RUU Pertembakauan bisa menyampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum atau bisa disebut lex specialis derogat legi generali.
Makanya, DPR harus konsisten dalam menentukan tujuan penyusunan RUU tersebut. DPR tentu harus memilih, apakah RUU ini ditujukan murni untuk manfaat kesehatan, meningkatkan penerimaan negara atau maksud tujuan lainnya.
“Tembakau ini adalah industri yang dibenci dan dirindukan. Kalau bicara kesehatan, tentu indsustri diminta untuk shut down (tutup). Tapi kalau bicara penerimaan negara, ini primadona. Disini dilemanya. Namun, jangan sampai ada aturan lagi, yang beririsan dengan kebijakan dengan peta jalan kebijakan fiskal yang disusun oleh Kemenkeu,” kata Yustinus.
(bir)