Jakarta, CNN Indonesia -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai pelaku usaha masih berminat untuk mengerjakan proyek listrik energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Bahkan, pelaku usaha disebut bersedia masuk meskipun hanya mendapatkan untung tipis.
"Misalkan, sejumlah uang jika diinvestasikan di tempat lain mendapatkan keuntungan normal tetapi jika diinvestasikan di proyek energi baru terbarukan di Pulau Sumba untungnya sedikit sekali atau hampir nggak ada untung. Selama tidak rugi, ada saja pelaku usaha yang berinvestasi ke sana," ujar Wakil Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Energi Baru Terbarukan dan Lingkungan Kadin Arya Witoelar di Jakarta, Rabu (24/11).
Arya mengungkapkan, pada dasarnya proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan membutuhkan kejelasan siapa yang akan membeli produksi listrik yang dihasilkan. Dengan demikian, investasi perusahaan bisa dikembalikan dan lembaga keuangan atau perbankan juga bersedia membantu pembiayaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, jika PT PLN (Persero) serius membeli produksi listrik energi baru terbarukan, maka Arya menilai pelaku usaha mendapatkan jaminan listrik akan terjual. Namun, Arya masih mempertanyakan keseriusan PLN untuk masuk ke sektor EBT.
Namun, jika pembangkit listrik di luar jaringan PLN (off-grid), maka perlu ada model bisnis yang memberikan kejelasan siapa yang akan membeli produksi listrik yang dihasilkan.
Misalnya, jika masyarakat yang akan membeli maka perlu ada upaya mitigasi risiko pembayaran tidak berlanjut. Padahal, penduduk daerah terpencil biasanya memiliki penghasilan terbatas karena keterbatasan aktivitas ekonomi. Akibatnya, proyek EBT menjadi terbengkalai.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) berkomitmen untuk memaksimalkan penggunaan dalam rangka mencapai targetnya di dalam bauran energi mencapai 23 persen pada tahun 2025.
Direktur Energi, Telekomunikasi dan Informatika, Bappenas, Rachmat Mardiana mengungkapkan untuk mencapai itu pemerintah masih memerlukan keterlibatan swasta untuk masuk ke proyek kelistrikan di daerah terpencil.
Berdasarkan data tahun 2015, lebih dari 2.500 desa terpencil masih memerlukan akses listrik yang belum bisa dipenuhi oleh PLN.
"Itu yang menjadi PR dari pemerintah bagaimana itu dilistriki sehingga mekanisme pendanaan pelaksanaan mungkin PPP [Public Private Partnership] juga dimungkinkan untuk memfasilitasi penerangan desa yang belum dilistriki tadi," ujarnya.
Pemerintah pusat sendiri telah mengalokasikan sejumlah dana untuk mendukung pemanfaatan EBT baik melalui Dana Alokasi Khusus, alokasi anggaran Kementerian ESDM, hingga Dana Desa.
 (REUTERS/Beawiharta) |
Sayangnya, keberlanjutan operasional pembangkit listrik energi baru terbarukan masih menjadi kendala akibat terbatasnya sumber daya manusia dan keuangan. Untuk itu, perlu ada suatu lembaga yang menjamin keberlanjutan proyek EBT di desa, bisa berupa koperasi maupun badan usaha milik desa yang bisa melibatkan peran swasta.
Organisasi pembangunan internasional, Hivos, dibantu oleh pendanaan hibah dari program Millenium Challenge Account- Indonesia (MCA-I) dan berbagai mitra telah mengimplementasikan Program Terang, proyek yang bertujuan mendukung peningkatan akses EBT di daerah terpencil.
Program ini merupakan kombinasi dua program utama Hivos di bidang energi terbarukan yaitu Program Biogas Rumah (Biru) dan Program Sumba Iconic Island.
Program Biru merupakan program pengembangan sektor biogas berbasis semi pasar yang dilakukan sejak 2009. Melalui program ini pengembangan sektor biogas dapat berkelanjutan dan mandiri.
Sedangkan dalam program Sumba Iconic Island, Hivos membantu menciptakan ekosistem pemanfaatn EBT secara berkelanjutan sehingga dapat mendukung pengembangan dan aktivitas ekonomi penduduk Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur.
Program Coordinator Hivos Robert de Groot mengungkapkan, pada akhir 2017, program Terang sudah berhasil menyediakan akses listrik bagi 26 kabupaten di NTT, NTB, dan Sulawesi Selatan.
Melalui proyek ini, sebanyak 25 sekolah memiliki sumber listrik dari energi terbarukan, 60,68 KW tenaga listrik dihasilkan dari PV Solar, dan rasio elektrifikasi di Pulau Ikonik Sumba di NTT meningkat dari 24,5 persen pada tahun 2010 menjadi 42,67 persen di 2017.
Untuk menjaga keberlangsungannya, sejak masa perencanaan instalasi proyek, pihaknya telah mengajak keterlibatan masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasa memiliki pembangkit listrik EBT yang ada di wilayahnya.
Selain itu, pendekatan kepada masyarakat juga mengusung semangat perbaikan taraf hidup dan perekonomian masyarakat. Misalnya, dengan listrik, masyarakat Sumba bisa memanfaatkan lentera untuk kegiatan ekonomi produktif di malam hari seperti mengupas kemiri, menenun, menganyam, pengemasan hasil kebun, bengkel, pembuatan kue, dan menjahit.
Pendapatan yang diperoleh masyarakat sebagian kecilnya bisa disisihkan untuk membayar operasional pembangkit listrik.
Jika ekosistem telah terbangun, keberlanjutan sektor EBT di daerah terpencil bisa lebih terjamin. Kondisi ini dengan sendirinya bisa mengundang investor swasta untuk masuk dan lebih banyak terlibat di dalamnya.
(gir)