Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan optimistis penyederhanaan jumlah impor barang yang dilarang atau terbatas (lartas) yang berlaku pada 1 Februari 2018 mendatang bisa membuat produksi industri nasional menjadi lebih kompetitif. Ini lantaran penyederhanaan lartas memang ditujukan bagi bahan baku industri nasional.
Berdasarkan HS Code Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), saat ini terdapat 10.826 jenis barang impor. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.229 barang atau 48,3 persen merupakan barang impor dengan kategori lartas. Mulai bulan depan, jumlah barang impor yang masuk kategori lartas bisa berkurang hingga 20,8 persen.
Dengan penyederhanaan lartas ini, Direktur Teknis dan Kepabeanan DJBC Kemenkeu Fajar Doni mengatakan, ongkos logistik impor bisa ditekan sehingga industri bisa mendapatkan bahan baku impor lebih murah.
Pemeriksaan barang-barang yang sudah bukan tergolong lartas ini dilakukan di luar pelabuhan (post border) sehingga mengurangi waktu verifikasi kepabeanan (custom clearance) dan tentu mengurangi waktu bongkar muat barang di pelabuhan (dwelling time).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih, sistem biaya inap kontainer sebagai bagian dari dwelling time di pelabuhan terbilang cukup progresif, sehingga semakin lama kontainer didiamkan di pelabuhan, maka ongkos logistik bisa makin mahal. Saat ini, importir dibebaskan dari tarif inap kontainer di hari pertama. Namun di hari kedua, ketiga, dan keempat, tarifnya terus menanjak jadi 300 persen, 600 persen, dan 900 persen dari tarif inap normal.
“Kami tentu berharap bahan baku, bahan penolong ini bisa cepat dikeluarkan dan harapannya (bahan baku impor) bisa lebih murah. Nanti biar Kementerian dan Lembaga sendiri yang memverifikasi, apakah barang ini tergolong barang produksi atau bukan,” jelas Fajar di Kementerian Keuangan, Selasa (30/1).
Kebijakan ini, lanjut dia, memang ditujukan untuk melindungi industri nasional. Makanya, tak heran jika beberapa barang konsumsi impor masih digolongkan sebagai barang lartas. Ia mencontohkan, beberapa barang yang masih perlu dilakukan custom clearance di perbatasan antara lain tekstil dan produk turunannya serta makanan dan minuman.
Sayangnya, ia masih enggan menyebut komoditas apa saja yang sekiranya masuk ke dalam penyederhanaan lartas ini. Tak hanya itu, ia juga tak menyebut efisiensi biaya logistik pasca kebijakan ini dijalankan.
“Sampai saat ini, barang-barang yang menyangkut keselamatan, keamanan, dan lingkungan masih belum dikeluarkan dari golongan lartas. Mungkin nanti kami akan lihat apa saja HS code yang sekiranya dikeluarkan dari golongan lartas,” ungkap dia.
Jika ini sudah dijalankan, ia optimistis peringkat indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia bisa melejit signifikan, utamanya dari indikator trading across border.
Dari 10 indikator EoDB, trading across border ini masih menduduki peringkat 112 dari 190 negara. Padahal secara keseluruhan, indeks EoDB Indonesia sudah berada di posisi 72 dari 190 negara.
“Dengan permudahan ini kami harap indeks EoDB bisa naik ke posisi 40 sesuai keinginan Presiden Joko Widodo. Dan tentu saja prinsipnya kami tak mau menghalang-halangi penggunaan barang,” tutur dia.
(lav)